Aspek teknis, lingkungan dan dampak sosial

Daerah Aliran Sungai (DAS) penyedia air sebagian besar berasal dari DAS Tamiang yaitu sub DAS Lesten dan Sub Das Pining. Luas daerah tangkapan sebelah hulu dari bendungan adalah 2025 km2 atau sekitar 46 persen luas total DAS Tamiang. Sedangkan aliran rata-rata sungai Tampur di lokasi bendungan adalah 109 m3/detik.

Proyek PLTA 443 MW direncanakan dibangun di kecamatan Pining, kabupaten Gayo Lues, Aceh dengan tinggi mencapai 193,5 meter. Bendungan itu dibangun untuk menampung air sungai Tampur, anak sungai Tamiang. Air yang ditampung kemudian dialihkan melalui terowongan (penstock) sepanjang 190 m ke turbin di power house. Setelah melewati turbin, air akan dialirkan kembali ke sungai. Bendungan ini akan menggunakan 5 turbin, salah satunya 15 MW dengan aliran air 11,5 m3/detik. Sedangkan empat turbin lainnya membutuhkan aliran air hingga 308,8 m3/detik atau hampir tiga kali aliran rata-rata sungai.

“Melihat data tersebut, PLTA Tampur akan dioperasikan dengan sistem peaker yaitu pembangkit yang menyediakan listrik saat kondisi air paling tinggi. Implikasi dari pengoperasian ini, air akan disimpan ditahan dibendungan selama mungkin. Pola ini akan menghasilkan fluktuasi signifikan setiap hari ke sebelar hilir bendungan,” kata Riswan Zein, analis lingkungan Yayasan Ekosistem Lestari.

Dari Aspek lingkungan, genangan yang dibuat seluat 4.090 Ha berada di kecamatan Pining. Lokasi tersebut berada di Kawasan Strategis Nasional Ekosistem Leuser. Lebih dari 10.000 Ha batas ekologis proyek PLTA berada di kawasan berstatus Hutan Lindung dan lebih dari 20.000 Ha batas ekologis proyek PLTA merupakan hutam primer. Di dalam kawasan lokasi PLTA ditemukan jenis-jenis satwa liar khas sumatera yang berstatus teramcam punah seperti gajah Sumatera, harimau Sumatera, Orangutan Sumatera, Badak Sumatera, Trenggiling serta jenis satwa lain.

“Mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan, kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser. Lembah Sungai Lesten yang akan digenangi waduk merupakan koridor jelajah yang sangat penting untuk populasi gajah Sumatera, koridor tersebut akan putus total karena topografi yang sangat terjal; hal ini akan mendorong populasi ini ke arah kepunahan,” ujarnya.

Menurut dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) yang dikeluarkan oleh PT. KAMIRZU, luas genangan diperkirakan mencapai 4.090 Ha dan untuk memenuhi genangan seluas area tersebut membutuhkan waktu hingga satu tahun, sudah bisa dipastikan 50% desa yang berada di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang akan mengalami kekeringan hebat selama kurun waktu tersebut.

Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi untuk jebol dan menelan banyak korban jiwa hingga membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir. Secara historis tercatat telah terjadi beberapa gempa besar, sekitar 6.0 SR di sekitar lokasi bendungan, semakin tinggi bendungan menahan tekanan air dalam jumlah besar akan semakin berisiko untuk jebol dan membanjiri masyarakat yang hidup di hilir. Dalam dokumen Andal, Bab III hal 160-161 disebutkan bahwa debit rencana pengoperasian PLTA adalah 77,2 m3/detik, padahal desain PLTA berkisar 11,2 m3/det hingga 308 m/det. Dalam dokumen Andal tidak ada analisis modeling hidrologi terutama bendungan dengan sistem pengoperasian Peaker, padahal hal tersebut diperlukan untuk masyarakat hilir.

Selain itu, PLTA Tampur I ternyata tidak hanya merusak dan berpotensi menimbulkan bencana, PLTA ini juga menuai polemik terkait proses perizinan. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang digunakan oleh PT. KAMIRZU dinilai tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

“IPPKH hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri berdasarkan permohonan, dalam aturan tersebut Menteri memang bisa memberikan kewenangan kepada Gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, tapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat non komersial dengan luas paling banyak 5 (lima) hektar, sedangkan proyek ini sudah dipastikan menggunakan kawasan hutan lebih dari lima hektar dan tidak termasuk dalam kategori fasilitas umum yang bersifat non komersial seperti yang disebutkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,” jelas M. Fahmi, Tim Legal Yayasan HAkA.

Dalam jangka waktu yang sudah diberikan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak Surat Keputusan Gubernur diterbitkan, PT. KAMIRZU juga belum dapat menunjukkan data pendukung yang ditentukan, hingga menjadikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini menjadi batal dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

“Oleh karena itu, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini sudah seharusnya dicabut dan pemegang izin dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan, apabila pemegang izin tidak memenuhi kewajiban dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam izin ini. Kami juga meminta agar pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tidak mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan terkait pembangunan PLTA Tampur,” tegas Fahmi.

Pihaknya bersama dengan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH) akan menempuh jalur pidana apabila dalam masa tidak berlakunya IPPKH masih ditemukan adanya aktivitas penebangan pohon ataupun pengangkutan alat berat di wilayah proyek PLTA Tampur. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di hilir sungai Tamiang mulai merasa cemas menanggapi rencana pembangunan PLTA Tampur ini. Masyarakat Tamiang merasa cemas karena trauma dengan kejadian banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang di tahun 2006.

Selanjutnya, Penolakan warga

Artikel ini ditulis oleh:

Eka