Penolakan warga
Salah seorang warga Aceh Tamiang, Matsum mengungkapkan kebutuhan air untuk mengisi tinggi bendungan yang mencapai 193 meter akan sangat lama. Selama itu, masyarakat yang berprofesi sebagai petani dan berkebun akan lumpuh dan kekeringan. Apalagi melihat potensi gempa, satu kecamatan akan hancur total jika sampai bendungan tersebut jebol.
“Kalau PLTA itu dibangun, tidak ada aksies air lagi bagi kami. Melihat posisinya di hutan lindung dan dampak sosial yang ada, harusnya proyek tersebut ditinjau ulang. Kami bukan anti pembangunan, hanya saja jangan disitu, masih banyak tempat-tempat lain yang bisa menghasilkan listrik tanpa merusak hutan dan menimbulkan bencana. Intinya, jangan menghacurkan apa yang sudah ada,” ungkap Matsum.
Kepala Bidang Pengendalian Penanaman Modal Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh Jonni mengatakan Provinsi Aceh memiliki potensi energi yang besar untuk dikonversi menjadi listrik. Saat ini, perusahaan yang berinvestasi membangun PLTA masih dalam tahap izin prinsip. Hal tersebut karena terkendala sulitnya akses infrastruktur ke daerah pedalaman.
“Aceh punya banyak potensi energi, tapi belum banyak yang diekspos. Kalau pembangunan PLTA terealisasi semua, listrik di Aceh pasti surplus,” jelasnya.
Namun terkait pembangunan PLTA Tampur, lanjut dia, rencana investasi sudah berjalan dan akan memulai konstruksi. Salah satu hambatan adalah proyek listrik diatan 100MW harus melalui proses lelang di PLN.
“PT Kamirzu siapkan Rp15 triliun untuk bangun Pembangkit Listrik Tenaga Air di Kabupaten Gayo Lues. Rencana investasi sudah jalan, sudah pemeriksaan lokasi, lapisan tanah, Amdal sudah selesai, dan akan kontruksi. Tapi mereka ada hambatan, karena kebijakan PLN untuk listrik yang berpotensi lebih dari 100 megawatt pelaksanaannya di lelang,” kata Jonni di Banda Aceh, Jumat (10/8).
Terkait Andal, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dam Kehutanan Wiratno mengatakan Pembangunan pembangkit listrik tenaga air atau PLTA di Provinsi Aceh tergantung Gubernur.
“Tergantung Gubernur. Apakah Gubernur setuju atau tidak. Pemerintah pusat hanya mendengar Gubernur karena Gubernur mewakili masyarakat,” kata Wiratno di Banda Aceh.
Kendati pembangunannya tergantung Gubernur, Gubernur juga harus mendengarkan suara masyarakat. Apakah masyarakatnya setuju atau tidak. Sebab, masyarakat yang merasakan dampak dari sebuah proses pembangunan. Oleh karena itu, pembangunannya harus dikomunikasikan dengan masyarakat. Selain itu, pembangunannya juga jangan sampai merusak Kawasan, khususnya Kawasan hutan. Juga jangan masuk dalam kawasan lindung, seperti Taman National Gunung Leuser.
“Kawasan hutan lindung tidak bisa dialihfungsikan. Selain itu, pembangunannya juga harus memiliki analisa mengenai dampak Lingkungan atau amdal. Amdal ini jangan sekadar dokumen,” kata dia.
Selanjutnya, RUPTL 2018
Artikel ini ditulis oleh:
Eka