Kopenhagen, Aktual.com – Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen mengatakan bahwa mitranya dari Israel, Benjamin Netanyahu, telah menjadi ”masalah”. Dikatakannya pula, bahwa ia akan mencoba menekan Israel terkait perang Gaza mengingat negaranya saat ini memegang jabatan sebagai Presiden Uni Eropa.
Dilansir dari Times of Israel, pernyataan ”keras” tersebut dilontarkan Frederiksen di tengah meningkatnya tekanan internasional terhadap Israel terkait perang dengan Hamas di Jalur Gaza, terutama dari sekutu-sekutu Israel di Eropa dan Uni Eropa sendiri.
”Netanyahu sendiri kini menjadi masalah,” ujar Frederiksen dalam sebuah wawancara dengan harian Jyllands-Posten, pada Sabtu (16/8). Ia menambahkan bahwa Denmark telah lama mendukung Israel, dan bahwa ia secara pribadi berkomitmen untuk melanjutkan dukungan ini.
Namun kini, ia berpendapat Israel akan lebih baik tanpa Netanyahu, dengan mengatakan bahwa pemerintah saat ini bertindak melawan kepentingan negara, meskipun ia mengklarifikasi bahwa itu adalah urusan rakyat Israel.
Pemimpin Denmark berhaluan kiri-tengah itu juga menggambarkan situasi kemanusiaan di Gaza sebagai ”sangat mengerikan dan dahsyat.”
Menurut Frederiksen, pemerintah Israel di bawah PM Netanyahu sudah bertindak ”terlalu jauh”. Ia pun mengutuk kekerasan pemukim dan rencana permukiman baru untuk membangun lebih dari 3 ribu unit rumah di wilayah E1 Tepi Barat, yang diumumkan oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich pada Rabu (13/8) lalu.
”Kami adalah salah satu negara yang ingin meningkatkan tekanan terhadap Israel, tetapi kami belum mendapatkan dukungan dari anggota Uni Eropa,” kata Frederiksen.
Ia menambahkan bahwa pihaknya ingin mempertimbangkan ”tekanan politik, sanksi, baik terhadap para pemukim, menteri, atau bahkan Israel secara keseluruhan” mengacu pada sanksi perdagangan atau penelitian.
”Kami tidak mengesampingkan kemungkinan apa pun sebelumnya. Sama seperti Rusia, kami merancang sanksi untuk menargetkan wilayah yang kami yakini akan memberikan dampak terbesar,” tegas Frederiksen.
Ketika ditanya apakah Denmark berencana untuk bergabung dengan negara-negara tetangga Skandinavia dan negara-negara Eropa lainnya dalam mengakui negara Palestina, Frederiksen.
menjawab bahwa negaranya tidak akan melakukannya selama Hamas masih menguasai sebagian besar wilayah yang diklaim oleh Palestina sebagai negara masa depan. ”Denmark tidak ingin ”memberi imbalan” kepada Hamas,” katanya.
Prancis mengecam rencana E1 sebagai ‘kolonisasi’
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis menentang rencana pembangunan pemukiman baru di wilayah yang ditandai sebagai E1 di kawasan Tepi Barat. Prancis menyebut proyek tersebut sebagai pelanggaran serius hukum internasional.
Prancis juga menegaskan sikapnya yang mengecam bentuk kolonisasi, serta menambahkan pihaknya ”tetap bergerak bersama mitra-mitra Eropanya untuk meningkatkan tekanan terhadap Israel agar mengakhiri kolonisasi, termasuk melalui sanksi baru terhadap individu dan entitas yang bertanggung jawab atas kolonisasi.”
Untuk diketahui, beberapa negara, serta PBB turut mengecam keras proyek E1, dengan mengatakan bahwa proyek tersebut merusak harapan akan negara Palestina yang bersebelahan di masa depan dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Potensi pembangunan permukiman baru untuk Ma’ale Adumim di zona yang disebut E1 telah lama menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat internasional. Pembangunan ini akan membagi Tepi Barat menjadi wilayah utara dan selatan dan mencegah pembangunan kota metropolitan Palestina yang menghubungkan Yerusalem Timur dengan Betlehem dan Ramallah, yang telah lama diharapkan oleh Palestina akan menjadi fondasi negara masa depan mereka.
Israel merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, beserta Jalur Gaza dari Mesir, selama Perang Enam Hari 1967. Palestina menginginkan ketiga wilayah tersebut untuk sebuah negara. Sebagian besar masyarakat internasional memandang permukiman sebagai ilegal dan hambatan bagi penyelesaian konflik yang telah berlangsung lama.
Israel mencaplok Yerusalem Timur, tetapi belum mengambil langkah serupa di Tepi Barat. Para pemimpin sayap kanan, termasuk Smotrich, juga telah mendesak Israel untuk membangun kembali permukiman di Gaza di tengah perang yang sedang berlangsung di sana.
Untuk diketahui pula, sejak pecah pertempuran antara Hamas dan Israel pada 7 Oktober 2023, para milisi Hamas di Gaza saat menyerang Israel telah menewaskan 1.219 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan Israel. Sementara serangan balasan Israel sejak hari itu hingga kini sedikitnya telah menewaskan sekitar 61.430 warga Palestina, yang sebagian besar warga sipil, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, namun yang dianggap kredibel oleh PBB.
(Indra Bonaparte)

















