Jakarta, Aktual.co — Pemimpin Jepang, Shinzo Abe menantang ancaman kemarahan dari Tiongkok dan Korea Selatan melalui tindakannya mengirim persembahan ke kuil bermasalah, Selasa (21/4), dan menyatakan bahwa ia tidak akan mengulangi permohonan maaf secara resmi terkait kekejaman Perang Dunia II.
Abe mengirim persembahan simbolis ke kuil Yasukuni, tempat persemayaman pahlawan perang, namun juga termasuk 14 orang, yang dikenal sebagai penjahat perang.
Persembahan pohon sasaki –yang dinilai suci dalam adat Shinto, melambangkan bahwa Abe tidak akan mengunjungi kuil tersebut selama tiga hari perayaan musim semi di kuil itu yang dimulai pada Selasa.
Beijing dan Seoul mempunyai pandangan yang sama mengenai kuil tersebut, yaitu sebagai lambang tidak ada penyesalan Jepang terhadap kesalahannya selama Perang Dunia II.
Kedua negara itu akan dibuat marah dengan persembahan yang dilakukan pada saat perhatian semakin meningkat pada Abe yang diharapkan membuat pernyataan pada peringatan 70 tahun akhir PD II.
Para pengamat memantau apakah ia akan memberi pernyataan langsung atas “penjajahan dan agresi” yang dilakukan negaranya dan mengungkapkan “permohonan maaf” serta “penyesalan” seperti yang dilakukan pendahulunya dalam peringatan 50 tahun dan 60 tahun PD II.
Bagi Tiongkok dan Korea Selatan yang menderita di bawah ambisi kekaisaran Jepang, saat-saat itu sangat penting menandai penerimaan Tokyo atas kesalahan yang dilakukannya di seantero Asia pada tahun 1930-an hingga 1940-an, yang menyebabkan jutaan orang meninggal.
Abe mengatakan bahwa ia setuju dengan pernyataan-pernyataan sebelummya dan mengatakan “saya kira saya tidak perlu menuliskannya lagi.” Beijing dan Seoul melihat bahwa Tokyo belum meminta maaf dengan patut mengenai perang tersebut dan mendesak bahwa pernyataan penyesalan yang bersejarah pada 1995 perlu ditegakkan.
Pekan lalu seorang novelis Jepang Haruki Murakami mengatakan Jepang harus terus menerus meminta maaf atas agresi yang dilakukan itu hingga bekas korban-korban mengatakan “cukup”.
Mengabaikan permohonan maaf secara langsung dalam pernyataan musim panas akan merusak diplomasi Jepang, kata Tetsuro Kato, guru besar tamu di universitas Waseda, Tokyo.
Artikel ini ditulis oleh:

















