Selain itu kata Syarif bahwa banyak pihak mengembangkan spekulasi secara tendensius bahwa terorisme berpangkal dari fundamentalisme dan radikalisme agama, terutama Islam. Tak heran jika kemudian Islam seringkali dijadikan ‘kambing hitam”.
Namun dengan demikian, tidak sedikit pula yang percaya bahwa motif radikalisme dan terorisme tidaklah bersumber dari aspek yang tunggal. Kesadaran ini membawa keinsyafan bahwa upaya penanganannya juga tidak bersifat parsial, namun perlu pendekatan komprehensif secara integral.
“Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998, radikalisme dan terorisme menjadi ramai diperbincangkan. Reformasi membuka kran demokrasi yang tertutup selama 32 tahun selama rezim orde baru berkuasa,” imbuhnya.
Alhasil, sambung Syarif ruang eskpresi yang terbuka lebar mendorong lahirnya banyak organisasi dan gerakan keagamaan. Dalam masa ini, berbagai macam kelompok/organisasi baik politik, ekonomi, agama dan sebagainya menemukan tempat untuk mengekspresikan kepentingannya.
Selain itu menurut Ketua Umum PB PMII sahabat Agus Mulyono Herlambang ahwa bangsa indonesia itu merdeka karena di perjuangkan, sedangkan perjuangan itu perlu pengorbanan, lantas mengapa setelah merdeka malah mau dirusak sendiri.
“Hal ini yang kemudian mengingatkan ungkapan sang proklamator bangsa ini bahwa benar “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid