Pekerja membereskan stok beras di Gudang Beras Bulog, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (26/1/2018). Ketua MPR Zulkifli Hasan minta pemerintah untuk membatalkan rencana impor beras. Karena pelaksanaan impor yang dilakukan bersamaan dengan panen raya akan merugikan petani. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan revisi terhadap data beras yang sebelumnya disampaikan Kementerian Pertanian (Kementan) pada Selasa (23/10) kemarin.

Dalam revisi tersebut, terdapat perbedaan yang sangat mencolok di antara data versi BPS dengan data versi Kementan.

BPS memperkirakan, produksi gabah kering giling pada tahun ini mencapai 56,54 juta ton. Sedangkan produksi Kementan justru jauh lebih tinggi, yaitu 80 juta ton.

Untuk produksi beras, BPS menyebut 32,42 juta ton. Angka ini juga masih lebih rendah dibanding versi Kementan yang mencatat 46,5 juta ton.

Tidak hanya itu, statistik konsumsi beras versi BPS dan Kementan pun masih cukup mencolok, yaitu 29,57 juta ton (BPS) berbanding 33,47 juta ton (Kementan.

Kementan juga memperkirakan surplus mencapai 13,03 juta ton, namun BPS menyebut surplus hanya 2,85 juta ton.

Dalam perspektif politik, hal ini dinilai dapat menjadi blunder bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga merupakan salah satu petarung dalam Pilpres 2019.

Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin.

Perbedaan data ini, katanya, merupakan persoalan berlarut yang dari muncul dari tahun ke tahun hingga berujung kepada tahun politik.

“Kenapa tidak dari dua tahun lalu persoalan ini diantisipasi? Tentu ini mengganggu kinerja pemerintahan karena dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya bisa diselesaikan,” kata Ujang di Jakarta, Rabu (24/11).

Pemerintah memang mengalami kesulitan dalam sosialisasi program akibat data yang tidak sinkron tersebut. Apalagi isu beras ini sempat heboh. Ujang menilai sulit mengampanyekan keberhasilan dan kesuksesan pemerintah jika sumber datanya berbeda. Akibatnya kubu oposisi bisa menangkap isu yang seksi ini untuk bisa menembak pemerintah.

“Mengkritik itu tergantung momentumnya. Sekarang sudah ada momentum karena data yang tidak sama itu tidak mampu dituntaskan meski sempat disebut akan diselesaikan.”

Sebelumnya dalam konferensi pers pencapaian 4 tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Kementerian Sekretariat Negara, Selasa (22/11), Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mengakui impor pangan tahun 2018 memang cukup tinggi. Padahal salah satu janji kampanye Jokowi-JK pada saat kampanye 2014 adalah tidak impor pangan.

“Pangan tahun ini impor tinggi, oke. Tapi, kalau indeks ketahanan pangan dibanding berbagai negara kita baik,” kata Darmin, Selasa (23/11).

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan