Jakarta, Aktual.com – Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menegaskan bahwa usulan melegalkan kewarganegaraan ganda harus ada pertimbangan secara teks dan konteks.

Legalisasi dwikewarganegaraan tidak mudah dan harus ada naskah akademik berikut kajiannya.

“Tak segampang itu. perlu dipertimbangkan secara teks dan konteks,” ujar Siti Zuhro, Rabu (17/8).

Secara teks, kata dia, diperlukan pemahaman tentang bagaimana filosofi negara ini dibentuk, termasuk yang tercantum dalam pasal-pasal dan ayat di UU.

“Kalau tidak dipahami, ini menjadi ‘moody’. Lalu secara konteksnya jangan karena ada fenomena ini (warganegara ganda) lalu mau mengubah UU. Tidak bisa semudah itu,” jelasnya.

Artinya, sambung dia, membangun bangsa harus demi bangsa itu sendiri bukan negara lain, seperti yang tertera dalam pasal 33 ayat 3 UUD 45 yaitu bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Harus yang berpihak pada bangsa sendiri, membangun untuk bangsa sendiri dan bukan untuk negara lain,”

“Kalaupun mengubah ayat harus ada naskah akademik, kajiannya, apakah publik mengiyakan atau tidak. harus diperhitungkan juga dampaknya.”

Sebelumnya, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Isyana Bagoes Oka menyoroti persoalan dwikewarganegaraan yang belakangan menjadi perhatian publik.

Menurutnya, ada jutaan diaspora Indonesia di mancanegara memiliki karir dan kehidupan yang baik di negara tempat mereka berkutat saat ini, tetapi juga memiliki kecintaan pada Indonesia.

“Namun dengan UU Kewarnegaraan sekarang, mereka terpaksa menanggalkan status WNI bila mengajukan status warga negara setempat. Mereka ‘dipaksa’ keluar dari WNI,” kata Isyana, Selasa (16/8).

Dicontohkan, penyanyi Anggun C Sasmi yang karirnya sukses di Prancis kemudian mengajukan kewarganegaraan Prancis. “Sudah semestinya kita melakukan revisi terhadap UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang masih tidak mengakui dwi kewarganegaraan,” ucap Isyana.

Wacana pengakuan dwikewarganegaraan ini, lanjut dia, merupakan janji politik Presiden Jokowi ketika menemui masyarakat Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat, pada Oktober 2015 lalu.

Terkait hal itu, Presiden Jokowi mencopot Arcandra Tahar dari kursi menteri ESDM, Senin (15/8), karena kontroversi kewarganegaraan ganda yang dimilikinya. Selain Arcandra, nama Gloria Natapradja Hamel juga dicoret dari keanggotaan pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) karena ayahnya berkewarganegaraan Prancis.

Artikel ini ditulis oleh: