Jakarta, Aktual.co — Kisruh Pilkada serentak dinilai bukan karena revisi Undang-undang, melainkan waktu pelaksanaan yang tidak tepat.
Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro mengaku tak setuju dengan adanya revisi Undang-undang Pilkada. Pasalnya, revisi malah membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilematis.
“Revisi hanya untuk menjembatani dua parpol yang berselisih. Tapi, saya tidak setuju (revisi) karena malah posisi KPU dilematis,” ujar Siti Zuhro di ruang Fraksi PKS, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/6).
Dirinya menilai, permasalahan pilkada serentak bukan pada revisi UU, melainkan waktu pelaksanaan yang tidak tepat. Sebab, kesiapan dari pilkada serentak itu sendiri perlu dipertanyakan.
“KPU apakah siap? Bawaslu? Mendagri? Pemerintah daerah? dan Partainya sendiri. Kesiapan keluruhan bagaimana? Kalau saya kurang tepat 9 Desember. Saya meneliti pilkada, birokrasi daerah,  otonomi  daerah, dan saya menyaksikan sendiri distorsi dan penyimpangan di daerah. Lebih bagus di tunda tiga bulan kedepan, bulan Maret. Ketimbang memaksakan kehendak,” ungkap wanita yang disapa wiwi ini.
Apalagi, lanjutnya, APBD tidak mencanangkan dana pilkada. “Ini yang bisa di rekayasa,” katanya.
Meski demikian, Wiwi menyatakan tetap konsisten terhadap UU Pilkada.
“Undang-undang pilkada ini perjalanannya panjang dan silih berganti. Ini Undang-undang yang sangat seksi, sangking seksinya jadi rebutan,” ucap dia.
Ditambahkan, semestinya ada pasal-pasal yang sama sekali tidak menjadi topik yang diubah. Ada pasal serius yang implikasi juga sangat serius. “Saya ingin liat ini jadi rule model bukan huruhara.”

Artikel ini ditulis oleh: