Jakarta, Aktual.com – Menteri Telekomunikasi dan Informatika, Rudiantara berencana untuk melakukan revisi terhadap PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor Revisi 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

Rencana sejatinya ditentang banyak pihak, pasalnya berpotensi merugikan pihak BUMN, sekaligus juga pemerintah dari sisi penerimaan negaranya.

“Pokok perubahan terhadap kedua PP itu pada intinya mengatur masalah kewajiban berbagi jaringan (network sharing) antar–operator atas infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mencakup frekuensi dan jaringan,” jelas pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo, di Jakarta, Senin (10/10).

Selain itu, menurut Prastowo, Rudiantara juga mengeluarkan SE No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 terkait Tarif Interkoneksi antar–operator yang kemudian menuai sorotan publik.

“Kebijakan itu sendiri sudah menjadi polemik karena menurunkan tarif interkoneksi semula Rp250 per menit menjadi Rp204 per menit bagi seluruh operator,” cetus dia.

Padahal sebetulnya, idealnya tarif interkoneksi didasarkan pada biaya operator masing–masing (asimetris). “Namun adanya SE itu, Menteri telah menetapkan besaran tarif yang sama untuk semua operator,” jelas Prastowo.

Tak ayal, menurutnya, kebijakan ini mendapatkan banyak sorotan publik karena disinyalir berpeluang menguntungkan beberapa operator tertentu dan merugikan operator BUMN untuk bisa menyubsidi layanan telekomunikasi mereka.

“Dan bahkan menggunakannya sebagai modal untuk perang harga (price war),” ucap Direktur Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) ini.

Namun kemudian, lanjut Prastowo, Rudiantara juga berencana melakukan revisi kedua PP itu. Padahal pembahasan dampaknya belum terjadi.

“Jadi, ditengah perdebatan kewajiban network sharing dan jor–joran diskon tarif seluler yang mengemuka akhir–akhir ini, belum dilakukan pembahasan dampak atas revisi PP 52/2000 dan 53/2000 terhadap penerimaan negara. Padahal itu penting,” tandasnya.

Menurut dia, revisi PP 52/2000 dan 53/2000 itu berpotensi merugikan industri telekomunikasi, seperti perang harga yang nantinya dapat berujung pada turunnya pendapatan negara.

“Terutama untuk pos penerimaan PPh (Pajak Penghasilan), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak),” jelas dia.

Selama ini, katanya, pemerintah mengklaim tujuan perubahan PP network sharing ini, adalah meningkatkan efisiensi penyelenggaraan telekomunikasi, mempercepat pembangunan infrastruktur dan layanan telekomunikasi nasional serta mendorong pemerataan pembangunan telekomunikasi.

“Pemerintah selalu bilang, revisi kedua PP dibutuhkan untuk menyambut era kompetisi baru dalam sektor telekomunikasi, apalagi menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun belum dikaji dampaknya seperti apa terhadap penerinaan negara,” kata Prastowo.

Padahal yang penting, kata dia, bagaimana untuk meningkatkan layanan telekomunikasi nasional tanpa harus mengorbankan penerimaan negara.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais menyebutkan, revisi PP 52 dan PP 53 ini semangatnya berlawanan dengan UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Padahal dengan adanya UU itu saja pihak asing sudah banyak yang bermain di sektor ini, apalagi nanti setelah ada revisi.

“Dan jika PP itu jadi, maka akan semakin liberal lagi sistem telekomunikasi Indonesia. Bahkan saya menyebutnya, selamat datang di era ultraliberalisasi,” tegas Hanafin

Dia juga mengingatkan, jika PP ini direvisi, berpotensi melahirkan aksi moral hazard, terkait kewajibam untuk membangun infrastruktur. Sehingga dengan alasan-alasan tertentu, malah hanya menumpang saja ke BTS-BTS lain.

“Mestinya, pemerintah paham bahwa kalau mau buat PP atau Permen harus lebih efektif dan kohern. Seperti soal OTT (over the top) saja belum diatur. Jadi intinya RPP berpotensi melawan UU (Telekomunikasi). Kalau begitu, DPR pasti akan keberatan,” cetus dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka