Menurutnya contoh di atas bisa disebut pasal karet. Sebab bisa dipelintir sesuai keingingan pelapor atau penegak hukum. Apalagi ada hukuman pidana bagi musisi yang melanggar aturan itu yang diatur pada Pasal 50, meski belum ada keterangan berapa lama penjara atau berapa banyak denda uangnya.

“Pasal itu juga berpeluang membelenggu kebebasan berekspresi musisi. Jika pembuat lagu-lagu bernada kritik, yang mungkin berpotensi mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum maka seperti tercantum dalam Pasal 5, semua bisa dipidanakan dan tentu ada pasal lainnya yang potensi membonsai pekerja seni berekspresi mengembangkan seni dan budaya,” ungkapnya.

Pasal-pasal semacam ini lah menurutnya perlu direvisi dengan melibatkan para pekerja seni dan budayawan. Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan DPR karena RUU saat ini sudah ditunda.

“Sekali lagi menurut saya, RUU permusikan perlu didorong agar bisa menciptakan iklim kondusif bagi pekerja seni dan budaya di Tanah Air. Jangan sampai mereka dibayangi dalam berkreasi dengan hantu pasal-pasal karet yang berujung pidana. RUU permusikan harus mendorong, melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya di Indonesia,” katanya.

Di kesempatan lain, Politisi NasDem Intan Azizah menilai, Indonesia sebagai negara berbudaya timur memang tidak bisa dibatasi terkait kreasi seni.

“Kalau bicara pembatasan bermusik, memang tidak bisa. Perkembangan teknologi dalam berkesenian, apalagi musik, sangat pesat, baik dalam hal sumber daya manusianya dan teknologi,” ujar Intan.

Artikel ini ditulis oleh: