Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi I DPR asal Fraksi Partai Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi ikut mengomentari polemik tarif interkoneksi yang rencananya akan diterapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.

“Memang, polemik penetapan biaya interkoneksi itu memerlukan kebijakan pemerintah. Akan tetapi, bukan semata soal komersial, tapi juga harus berkeadilan,” tutur Bobby ketika dihubungi Aktual.com, Selasa (30/8).

Menurut Bobby, rencana pemberlakukan tarif interkoneksi ini sudah dikeluhkan oleh Dirut PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, Alex J Sinaga.

“Pada rapat minggu lalu, Dirut Telkom menyampaikan, bahwa penetapan tarif baru ini telah menyalahi PP 52/2000, karena dianggap belum disetujui bersama oleh operator,” papar Bobby.

Akan tetapi sebaliknya memang, kata dia, oleh para operator non Telkom, hal tersebut diperlukan, karena agar pasar menjadi kompetitif dari sisi significant market power seperti Telkom.

Bobby berpendapat, di satu sisi memang dirinya setuju dengan rencana kebijakan ini. Agar para operator bisa memberikan harga terbaik bagi user atau masyarakat.

“Namun di sisi lain, salah satu pihak operator merasa dirugikan dan bisa mempengaruhi kinerjanya,” ujar Bobby.

Untuk itu, Bobby meminta pemerintah untuk mengkaji ulang struktur 18 skema penurunan tarif tersebut. Yang jelas bagi dia, prinsipnya boleh turun, tapi dihitung ulang agar semua operator menyetujuinya.

Apalagi semua perusahaan operator itu sebagai perusahaan publik. Sehingga regulasi ini akan membuat satu pihak untung, tapi perusahaan lainnya akan rugi.

“Sehingga kondisi itu ujungnya akan membuat harga saham publik menurun. Ini yang harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah,” cetus dia.

Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis menilai rencana Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) melakukan penurunan tarif interkoneksi hanya mencari popularitas, tapi berpotensi merugikan negara dan menguntungkan operator asing yang beroperasi di Indonesia.

“Penurunan tarif interkoneksi tak menjamin penurunan tarif ke pelanggan. Ini hanya langkah mencari popularitas. Justru kebijakan ini menguntungkan operator asing dan merugikan negara, lebih parahnya lagi bagi BUMN,” cetus Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adhi Wuryanto.

Wisnu menjelaskan, besaran tarif interkoneksi yang ditetapkan Rp204 memang sesuai hasil rapat dengar pendapat (RDP) antara komisi I DPR dengan para CEO operator pada tanggal 25 Agustus 2016 lalu.

Dengan angka itu, maka bagi operator XL dengan cost recovery (CR) Rp65,-/menit, akan untung Rp139/menit, untuk Indosat dengan CR Rp87/menit akan untung Rp117/menit, untuk Hutchinson dengan CR Rp120/menit akan untung Rp84/menit.

“Tapi Telkomsel – anak usaha Telkom -dengan CR Rp285/menit justru akan rugi Rp81/menit. Jika trafik interkoneksi antar operator Rp10 miliar menit per bulan, bisa dihitung berapa keuntungan operator asing tersebut dan berapa kerugian Telkomsel, misal kerugian Telkomsel di sini bisa mencapai Rp800 miliar per bulan,” tandasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka