Saudaraku, warisan terbaik para pendiri bangsa adalah ”politik harapan” (politics of hope), bukan ”politik ketakutan” (politics of fear). Republik ini berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita kehilangan identitas sebagai bangsa.
Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa spirit perjuangan memiliki daya hidup tahan banting untuk menghadapi berbagai rintangan karena adanya harapan. Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap menyala.
Akan tetapi, politik harapan harus berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan.
Visi politik responsif harus memenuhi empat prinsip utama: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan.
Dengan keempat prinsip itu, politik yang responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat pada pemerintah.
Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi, watak politik menjadi narsistis, mengecilkan harapan banyak orang.
Upaya menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan lewat politik responsif dan akuntabel.
Para pemimpin harus insaf bahwa ruang kebebasan yang memungkinkannya berkuasa hanya dapat dipertahankan sejauh dipertautkan dengan tanggung jawab dan penghormatan pada yang lain.
Bermula dari keinsafan elit pemimpin di pusat teladan, semoga akan mengalir berkah ke akar rumput, membawa bangsa keluar dari kelam krisis menuju terang harapan.
Belajar Merunduk, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin