Jakarta, Aktual.co —  Dua tahun jelang kejatuhan Presiden Suharto, seorang Indonesianis dari Universitas Ohio, Amerika Serikat, Benedict Anderson mengupas perilaku politik Suharto yang dilandasi tradisi budaya kekuasaan para aja Jawa maupun konsep politik yang terkandung pada dunia pewayangan. Karena ulasan Tentang “Lengser Keprabon” oleh Ben Anderson yang diterbitkan terbatas oleh (INDONESIA-L) pada 25 Nov 1997 itu cukup panjang, maka artikel ini terpaksa diterbitkan ulang dalam lima seri pemuatan. Silahkan dicermati. Redaksi.

T: Sejak bulan Agustus 97 lalu ada tiga krisis di Indonesia: krisis ekonomi, kebakaran hutan dan kekeringan. Bagaimana Pak Ben memahami keadaan sekarang ini?
J: Keadaan sekarang ini menunjukkan banyak hal. Tapi buat saya yang penting itu, ternyata banyak orang merasa bahwa pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan kepada masyarakat itu sedang goncang. Lalu pendapat umum — pokoknya asal ikut pemerintah, asal tunduk atau baik-baik saja, maka kemajuan dan kemakmuran akan datang dengan sendirinya — itu jadi goyah.
Malahan ternyata goncangnya bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga di banyak negara lain. Lalu masyarakat ini semuanya shock. Shocknya itu karena merasa sudah enak, sudah bisa beli ini-itu, bisa melancong kesana-kemari, eh tahu-tahu kok semuanya macet? Orang Indonesia, orang Thai, orang Pilipina — khususnya orang-orang yang berada — seperti sedang enak-enak mimpi, eh tahu-tahu dibangunin mimpi buruk.
Sebenarnya sudah lama ada frustrasi dalam masyarakat Indonesia, yang terus meningkat selama 6-7 tahun belakangan ini. Dibuktikan dari banyaknya pemogokan, dari munculnya huru-hara di sana-sini. Tapi selama ini angin seolah-olah terus di belakang pemerintah. Maka kejadian-kejadian itu tidak menjadi ombak. Tapi setelah ngliat bahwa pemerintah sekarang sudah kena musibah — akibat kolusi, korupsi, jatuhnya rupiah, dan macem-macem hal lain — maka orang merasa bahwa percik-percik yang munculnya sendiri-sendiri itu ada kemungkinan bisa berkembang menjadi suatu api. Semua gejala ini sudah nongol di media massa dan saban hari ada berita baru tentang peristiwa ini, tentang peristiwa itu. Akibatnya timbul suasana seolah-olah orang lagi menunggu gong.
T: Pak Ben membuat penelitian tentang Jaman Revolusi 1944-46. Pada akhir Jaman Jepang dan selama Jaman Revolusi itu keadaan ekonomi juga sulit luar biasa. Menurut orang tua kami banyak orang pakai karung goni karena nggak punya pakaian. Jaman Jepang itu makan nasi sudah termasuk mewah karena mayoritas rakyat sudah makan bubur, makan tiwul, makan gaplek, makan bekicot, daun singkong, dsb. Ratusan ribu romusha mati atau hilang begitu saja. Kalau mengingat penelitian tentang Jaman Jepang dan Jaman Revolusi itu lalu membandingkannya dengan keadaan sekarang, apa catatan Pak Ben? Apa yang sama, apa yang berbeda?
J: Jauh berbeda. Jaman Jepang itu adalah jaman yang penuh penderitaan yang nyata, bukan penuh impian buruk doang. Dan penderitaan tidak dengan sendirinya menimbulkan kegelisahan. Kalau orang diculik menjadi romusha, atau sedang setengah mati karena kelaparan, dia tak sempat menjadi gelisah.
Kegelisahan itu timbul justru dari suasana yang penuh ketidak-tentuan. Yaitu ketika orang merasa bahwa sesuatu sedang terjadi dengan cepat sekali dengan hasil akhir yang sama sekali tidak jelas. Jadi orang merasa terpaksa coba-coba untuk berbuat sesuatu supaya tidak kelewatan arus, atau tenggelam di dalamnya. Kegelisahan di Jaman Jepang baru timbul pada titik terakhirnya ketika orang-orang mulai mengerti bahwa Jepang sedang mau kalah. Lalu apa yang akan terjadi? Situasi seperti itu yang mendorong para pemuda untuk bergerak supaya ‘Indonesia Merdeka’ cepat-cepat terjadi dari puing-puingnya rejim Jepang. Dan sebelum Belanda, Inggris, dan Amerika masuk.
T: Bagaimana kalau dibandingkan dengan kegelisahan menjelang Peristiwa 65?
J: Saya kira agak berbeda. Karena Peristiwa 65 itu timbul dalam suasana ekonomi yang sudah merosot bertahun-tahun dan khususnya ketika uang rupiah sudah tak ada harga lagi akibat inflasi yang dahsyat. Pada tahun 65 itu cari orang kaya di Indonesia itu sudah sulit. Lagipula, konflik-konflik politik makin lama makin tajam. Peristiwa l Oktober 65 memang suatu shock ketika itu terjadi. Tetapi setelah terjadi orang siap melihatnya hanya sebagai kulminasi dari suatu krisis yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Orang kiri bisa menilai peristiwa itu sebagai lanjutan dari konspirasi lama yang disiapkan para jendral dan CIA. Orang kanan bisa menilainya sebagai bukti terakhir dan terserem dari konspirasi lama yang digodok PKI dan para cokin. Bukannya impian buruk. Tidak banyak orang ketika itu yang perasaannya shock seperti sekarang. Eh, sudah biasa mewah kok nggak bisa mewah lagi? Dulu sering dapat proyek, wah sekarang sudah nggak gampang lagi.

KEPERCAYAAN RAKYAT

T: Rapim Golkar mencalonkan kembali Suharto sebagai presiden. Menyambut pencalonan kembali ini pada tanggal 19 Oktober 97 Suharto pidato dengan banyak kata-kata dalam bahasa Jawa. Pidato tanpa teks ini cukup panjang, banyak topik yang dia bahas. Kami akan tanyakan empat topik saja: kepercayaan rakyat, lengser keprabon, madeg pandito dan ‘ojo-ojo’ itu.
Di bagian pertama Suharto bilang, “Memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, harus mawas diri atau ngulad sariro hangroso wani,” dst. Lalu dia bertanya, “Apakah benar-benar rakyat masih mempercayai saya?” Bagaimana Pak Ben menafsirkan bagian pertama ini? Apa yang Suharto maksud dengan “mengucapkan puji-syukur, mawas diri dan kepercayaan rakyat” itu?
J: Ini semacam sopan-santun atau basa-basi politik saja. Karena semuanya itu cuman omongan klise yang bisa diucapkan setiap waktu. Kalau ingin tahu maksud Suharto yang sebenarnya, lihat saja apa yang terjadi dalam Peristiwa 27 Juli. Bagaimana dia menggulingkan Megawati dan merusak solidaritasnya PDI. Dari peristiwa itu jelas bahwa dia berusaha keras supaya Mega dan massanya dihancurkan sebelum pemilu. Jadi mawas diri itu sama sekali ‘ora ono.’
Mengapa Suharto omong seperti ini sekarang? Sedangkan tahun lalu, waktu Peristiwa 27 Juli, tidak. Itu karena dia tahu bahwa sekarang Indonesia sedang dilanda kebakaran hutan, kelaparan dan krisis ekonomi yang sangat nyata. Jadi dia cukup mengerti bahwa dia tidak bisa omong seolah-olah semuanya berjalan lancar. Artinya dia harus omong seolah-olah emangnya rendah hati, mau mawas diri, dsb.
Jadi ini cuman omongan yang biasanya muncul dari seorang boss yang sebenernya galak. Tapi karena ternyata ada skandal besar di keluarganya dan di kantornya maka paling sedikit dia harus pura-pura rendah hati. Walaupun maksud yang sebenarnya adalah siapa yang berani melawan bakal saya gebugin. Ini cuma sandiwara. Tapi sandiwara yang dicocokkan dengan keadaan yang menakutkan.
T: Beberapa orang menafsirkan “kepercayaan rakyat” yang diomongin Suharto itu dengan cara berpikir modern. Seperti bikin referendum, bikin polling, dsb. Apakah dalam alam pemikiran raja-raja Jawa kepercayaan rakyat itu memang penting? Apa yang dimaksud raja dengan kepercayaan rakyat itu?
J: Raja jaman dulu jelas tidak banyak mikirin pendapat rakyat yang hampir semuanya buta huruf, hidup di desa-desa yang terisolir, dan umurnya rata-rata tidak lebih dari 30 tahun. Secara sadar raja Jawa tidak memikirkan kepentingan rakyat. Tapi kalau kita lihat kejadian-kejadian dalam sejarah Dinasti Mataram, jelas kepercayaan rakyat itu penting pada saat tertentu. Bukan kepercayaan bahwa si raja itu baik, karena itu sangat jarang. Yang penting itu apakah rakyat percaya bahwa si raja itu masih punya wahyu. Kalau rakyat merasa wahyunya si raja sudah pindah, ya sulit untuk ditarik kembali. Dan kalau begitu kesetiaan rakyat bisa lenyap dalam waktu yang singkat. Dari keadaan demikian si calon raja yang baru bisa mendapat sokongan dalam banyak bentuk. Jadi masalahnya adalah psikologi masyarakat. Itu penting jaman dulu dan saya kira tetap masih ada efeknya sampai sekarang. Tapi sampai kemana ini bakal berpengaruh dalam bulan-bulan mendatang, saya nggak bisa pastikan.

LENGSER KEPRABON

T: Di bagian lanjut pidatonya Suharto mengatakan seandainya rakyat tidak percaya lagi maka dia, “Akan menempatkan diri dalam falsafah suksesi pewayangan.” Katanya, falsafah itu adalah, “Lengser keprabon, madeg pandito.” Kalau raja tidak lagi memimpin kerajaan, dia bisa menjadi pendeta. Bagaimana memahami ‘falsafah suksesi’ versi Suharto itu?
J: Apa memang ada satu falsafah pewayangan? Apalagi falsafah tentang suksesi. Jangan lupa bahwa suksesi itu kata Barat. Saya nggak tahu apakah ada padanannya dalam bahasa Jawa. Tetapi kalau kita lihat di pewayangan dan di babad-babad, konsep suksesi sebagai suatu proses konstitusional yang diatur oleh hukum, itu sama sekali tidak ada. Kalau ada raja baru nongol, itu atas dasar hubungan darah atau dengan kekerasan.
Menarik bahwa Suharto omong tentang falsafah pewayangan dan tidak bicara tentang falsafah babad-babad. Padahal babad-babad itu adalah sejarah yang sebenarnya dari dinasti-dinasti Jawa sepanjang jaman. Sebenarnya, suasana dan moralitas yang nampak di wayang dan di babad itu berbeda jauh. Di dunia wayang, sampai batas tertentu, norma-norma moralitas satria sejati lumayan terbukti. Tetapi babad-babad itu penuh dengan pengkhianatan, dengan kudeta, dengan tipu muslihat, dengan guna-guna, dan segala macam kebusukan dan kekejaman yang mengerikan.
Dalam babad-babad sulit dicari tokoh seperti Arjuna atawa Yudistira. Sedangkan dalam dunia wayang kita tidak akan ketemu tokoh bangsanya Ken Arok, Pakubuwono X, dsb. Dan sepengetahuan saya, dalam Babad Tanah Jawi tidak pernah ada raja yang lengser keprabon. Kalau di-lengser-keprabon-kan itu ada, dan sering.
Lengser keprabon di dunia wayang, misalnya Mahabharata, yang saya ingat cuma sekali terjadi. Paling-paling Abiyoso. Dan Eyang Abiyoso gagal sama sekali dalam madeg panditonya. Sebagai akibat pilih kasih antara putra-putranya — yang nota bene semuanya ada cacat — pada akhirnya cucu dan cicitnya saling membunuh secara mengerikan dalam perang Brotoyudo. Jadi, repot kalau Mbah Byoso yang dijadikan tauladan.
Dan itu satu-satunya kasus. Jadi kalau dikatakan lengser keprabon itu adalah falsafah suksesi wayang, itu sama sekali tidak benar! Saya juga nggak pasti apakah klise ‘lengser keprabon madeg pandito’ adalah sesuatu yang betul-betul kuno atau sesuatu yang dibikin-bikin pada akhir jaman kolonial.
T: Apakah pemikiran Suharto ini cocok dengan pikiran Pak Ben tentang, “The idea of power in Javanese culture.” Misalnya tentang wahyu, sepi ing pamrih, halus, dsb?
J: Pidato itu bisa diartikan sebagai usaha seorang raja yang menghadapi kesulitan yang berat. Lalu dia cari jalan supaya masih tetap berkuasa. Jaman dulu orang merasa kalau ada gempa bumi, kalau ada letusan gunung api, ada penyakit menular, semuanya itu pratanda bahwa wahyu sedang pindah. Dan pasti cukup banyak orang masih punya perasaan seperti itu. Karena mereka lihat banyak peristiwa yang tidak baik selama dua tahun belakangan ini bisa timbul gagasan bahwa masa-jayanya Suharto sedang berakhir. Dan memang, banyak orang menilai bahwa mataharinya Orde Baru sedang terbenam. Jadi dalam hal itu bisa cocok juga dengan the Idea of Power in Javanese Culture.
T: Bayangan Suharto tentang pemerintahan itu sederhana sekali. Katanya, “Kerajaan yang dipimpin oleh Sang Nata Batara, Sang Prabu. Kemudian dibantu oleh Patih yang bertindak sebagai Perdana Menteri. Disampingnya itu ada Pandita yang mendampingi Sang Nata dalam rangka perjuangan spiritual.” Udah, cuma segitu!
J: Dari ucapan Suharto kami juga bisa lihat betapa dia tidak punya konsep yang jelas tentang kepresidenan. Seolah-olah “presiden” itu suatu konsep yang kosong atau semu. Sedangkan “raja” bagi dia itu konsep yang cocok dengan ide-idenya tentang kebudayaan dan tradisi Jawa.
Kalau Suharto berpidato resmi semua ucapannya penuh istilah dan bahasa yang kebarat-baratan: pembangunan yang berkesinambungan, konstitusi, pertumbuhan ekonomi, dsb. Itu memang pidato-pidato yang ditulis oleh stafnya di Sekneg. Tapi kalau dia ngomong secara spontan cara bicaranya berobah 100%. Ingatlah ledakan marahnya di Pekan Baru, wejangannya yang aneh-aneh didepan KNPI, dimana dia melepaskan diri dari bahasa resmi.
Kalau dia ngomong secara spontan selalu yang nampak adalah kejawennya. Dari mulut dan benaknya keluar konsep-konsep yang sama sekali tidak berhubungan dengan jaman modern — umpamanya pentingnya Hanacaraka. Kalau mau pakai bahasa kasar, dia itu lagi ‘kebadaran.’
Suharto ini orang yang complicated. Dia seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam masa peralihan dari dunia lama ke dunia modern itu. Selain itu jangan lupa bahwa pada jaman raja-raja dulu tidak ada pemilu, tidak ada parpol, tidak ada LSM, tidak ada pers. Jadi sikon sekarang ini sulit dibandingkan dengan jaman baheula.
Bagaimana memahami pidato Suharto itu dalam konteksnya, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi, kebakaran, kekeringan dan kelaparan? “Mau tidak mau Suharto mengerti bahwa banyak bencana dibawah kediktatorannya yang sangat panjang itu. Bencana-bencana itu dus menyangkut kepemimpinannya baik dari sudut kejawen maupun dari sudut modern.”

MADEG PANDITO

T: Setelah menjelaskan falsafah suksesi itu, Suharto menjelaskan apa tugas seorang pandito, “Pertama, mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang kedua, mengasuh anak cucu dan cicit supaya menjadi orang yang berguna bagi negara dan bangsa. Kepada masyarakat akan memberi saran-saran, atau ‘wur-wur sumbur.’ Kepada penguasa, tut wuri handayani.” Bagaimana Pak Ben memahami tugas pandito versi Suharto ini?
J: Ini sebenarnya agak lucu. Karena dalam dunia wayang pandito itu kan orang yang dihormati karena pengalamannya dan kewicaksanaannya. Nah, kalau setelah lengser keprabon, si pandito baru merasa harus mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yah seolah-olah selama hidupnya dia justeru lumayan jauh dari Tuhan. Jadi ini seperti bau-baunya orang menjelang mati, coba tobat dikit dong! Apakah ini contoh yang bagus? Lagipula, perhatikan kata-katanya secara terperinci. Si pandito itu ingin lebih dekat dengan sifat Tuhan yang mana? Ee, kok Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukankah sebaiknya dan malahan perlu selalu didekatin itu Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Pemaaf?
Kalau yang kedua, mengasuh anak-cucu dan cicit. Ya, itu jelas sudah lama Suharto kerjakan dengan rajin. Tapi kalau diasuh sampai menjadi orang yang berguna bagi negara dan bangsa, wah itu masih jauh. Perlu dicatat juga pada jaman dulu konsep ‘berguna bagi bangsa’ itu nggak ada. Ketidak-adaan ini bisa dilihat dari memoarnya Pangeran Diponegoro yang menulis bahwa targetnya adalah “menaklukkan seluruh tanah Jawa.” Bukannya berguna bagi bangsa Jawa. Jadi pikiran “tradisional” Suharto tentang madeg pandito sama sekali tidak ada hubungan dengan tradisi yang sebenarnya. Kalau soal tut wuri handayani, itu ajaran Ki Hajar yang muncul pada akhir jaman kolonial. Asalnya, filsafat birokrat priyayi jaman Belanda, yaitu “perintah halus.” Sama sekali tidak berhubungan dengan dunia wayang, apalagi dengan Babad Tanah Jawi.
Dari pikirannya tentang madeg pandito ini bisa dilihat bahwa Suharto punya mentalitas yang beraneka-warna. Ada unsur mental priyayi kecil jaman kolonial, ada unsur dari wayang, ada unsur Makiavelistis dari Babad Tanah Jawi, ada sedikit ajaran Ki Hajar Dewantoro, ada sisa nasionalisme jaman revolusi, ada pengaruh sistim militer yang semula diciptakan oleh tentara Prusia, dsb. Jadi ini semacam gado-gado. Justru karena itu, orangnya menarik.
T: Dalam cerita wayang banyak tokoh raja atau prabu. Misalnya ada Sri Rama, Arjuna Sasrabahu, Dasamuka, Subali, Yudistira, Kresna, Baladewa, Suyudana, Parikesit, dll. Masing-masing punya ciri khasnya sendiri. Pak Ben pernah bikin buku tentang tokoh-tokoh wayang ini. Kira-kira siapa tokoh cerita wayang yang sifatnya agak mirip dengan Suharto?
J: Saya kira tidak ada. Karena dalam cerita wayang saya tidak ingat ada tokoh yang berjiwa dingin. Tapi kalau di Babad Tanah Jawi itu mungkin ada. Ya, bangsanya Senopati itulah. Kalau ingin mencari Suharto, bagusnya dicek dalam Babad Tanah Jawi. Jangan dicari-cari dalam dunia pewayangan.
Kita juga harus ingat juga bahwa dunia wayang itu diselimuti dengan suasana tertentu. Yang penting, dan ini berulang-ulang diucapkan oleh Ki Dalang, semua yang terjadi itu terjadi karena pada akhirnya sudah ditakdirkan oleh para dewa. Kalau Kresna tidak jujur atau membohongi Kurawa, itu tidak salah dan tidak perlu dimaafkan atau dijelaskan secara politik. Karena bagaimanapun Bratayuda ditakdirkan harus terjadi. Dan tokoh ini atau tokoh itu harus mampus di lapangan waktu perangnya terjadi. Suasana kosmologis seperti itu sedikit sekali dalam babad-babad.
T: Selama 30 tahun Suharto berkuasa ini, keadaannya mendekati keadaan dalam Babad Tanah Jawi atau mirip ideal wayang?
J: Orang Jawa pada umumnya mengira bahwa dunia wayang adalah dunia yang realistis tentang masyarakat Jawa di jaman “sangat dulu.” Ada semacam kepercayaan bahwa Pendowo itu emangnya orang Jawa priyayi, bangsawan Jawa yang sempurna. Orang biasa tidak sadar bahwa Mahabharata sebenarnya diciptakan oleh seorang penyair Keling. Dan Arjuna versi aslinya bermukim ditepi Kali Gangga, bukannya di pinggir Bengawan Solo.
Selain itu “sangat dulu” berarti Orang Jawa jelas membedakan antara dunia wayang dan dunia babad, yang terakhir ini malahan “agak dekat.” Cerita wayang bukan cerita yang diciptakan oleh si penyair ini itu, dan bukan sesuatu yang perlu dicek kebenarannya. Tapi Orang Jawa mengerti bahwa babad adalah ciptaan manusia, dan ditulis oleh si Anu di keraton Anu. Mereka sadar juga bahwa babad-babad itu adalah semacam sejarah, yang nota bene ditulis oleh Orang-orang Jawa sendiri, bukan oleh Belanda. Justru karena asalnya babad demikian, si penulis tidak segan-segan menggambarkan segala macam kejelekan yang dilakukan oleh raja-raja. Kecuali raja seorang itu yang kebetulan menjadi Gustinya — tentu saja!

(Bersambung ke OJO OJO)

Artikel ini ditulis oleh: