Jakarta, Aktual.com – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa politisi Golkar yang sekaligus menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Selasa (24/7).

Eni yang sudah menjadi tersangka penerimaan suap dalam kasus proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 itu datang pada pukul 09.41 WIB bersama tiga orang tahanan lainnya.

Emi mengenakan terusan batik dengan kerudung cokelat. Dia hanya tersenyum sambil berjalan dan tidak menjawab satu pun pertanyaan dari wartawan.

Namanya tidak ada dalam jadwal pemeriksaan yang dikeluarkan oleh lembaga antirasuah hari ini.

Jurubicara KPK, Febri Diansyah pun enggan menjelaskan lebih lanjut apa saja yang didalami dalam pemeriksaan Eni saat dihubungi melalui pesan elektronik.

Ini merupakan pemeriksaan perdana Eni setelah resmi ditahan KPK untuk 20 hari pertama.

Diduga Eni dan kawan-kawan menerima uang sebesar Rp 500 juta merupakan bagian dari komitmem fee 2,5 persen dari nilai proyek terkait kesepakatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau-1.

Penerimaan kali ini diduga merupakan penerimaan keempat dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni dengan nilai total setidak-tidaknya Rp 4,8 miliar.

Pemberian pertama pada Desember 2017 sebesar Rp 2 miliar, kedua Maret 2018 sebesar Rp 2 miliar dan ketiga 8 Juni Rp 300 juta dan uang tersebut diduga diberikan melalui staf dan keluarga.

Diduga peran Eni adalah untuk memuliskan proses penandatanganan kerjasama terkait PLTU Riau-1.

KPK mengamankan barang bukti yakni uang sebesar Rp 500 juta dan dokumen tanda terima.

Sebagai pihak penerima, Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.

Sementara sebagai pihak pemberi, Johannes yang merupakan pihak swasta disangkakan melanggar pasal melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan