Terdakwa penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama saat sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa, 13 Desember 2016. CNN Indonesia/Safir Makki/POOL

Jakarta, Aktual.com – Politisi Muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menilai peristiwa “Tangisan Ahok” saat membacakan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang dilangsungkan di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (13/12) kemarin, itu bisa dilihat dalam dua situasi.

Situasi pertama, kata Doli, bila tangisan itu buatan dan dilakukan dengan penuh kepura-puraan, maka artinya Ahok melanjutkan kebiasaan membohongnya seperti yang sering dilakukannya selama ini.

“Atau ‘Tangisan Bombay’, itu menunjukkan bahwa Ahok memang memiliki mental ‘inlander’. Di mana ke bawah menginjak, ke atas menjilat,” ujar Doli di Jakarta, Rabu (14/12).

Menurutnya, masyarakat pasti masih ingat bagaimana Ahok bersikap dan berprilaku kasar serta semena-mena terhadap rakyat biasa. Tetapi, prilaku kasar itu sontak berubah 180 derajat ketika berhadapan dengan atasan atau penguasa. Dalam hal ini hakim di pengadilan.

“Dia menjadi tunduk, merendah, bahkan merengek-rengek. Jadi ini situasi ‘pencitraan’ yang ingin membangun kesan seakan Ahok didzhalimi,” kata Doli.

Sementara situasi kedua, lanjut dia, bila tangisan itu benar serius, mungkin Ahok memiliki penyimpangan kejiwaan.

“Sungguh mengerikan ketika kita bisa melihat di dalam satu orang memiliki karakter yang kontras. Ahok yang kita kenal selama ini bengis, kejam, kasar, bergaya preman, dengan penuh makian, tiba-tiba bisa beruraian air mata dan cengeng,” sebutnya.

Dalam konteks ini, kata Doli, tentu Ahok sesungguhnya tak pantas memimpin apapun, karena memiliki mental yang tidak stabil.

“Apalagi kalau kita dengar isi tanggapannya di persidangan masih juga ada kebohongan, berilusi, mengundang konflik, dan bahkan masih juga menista Alqur’an. Saya kira hakim harus benar-benar catat itu,” tandasnya.

(Laporan: Nailin)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka