Ponorogo, Aktual.com – Selama ini, masyarakat lebih banyak hanya mengenal dodol hasil buatan masyarakat Garut, Jawa Barat. Padahal, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, juga memiliki oleh-oleh khas yang umumnya terbuat dari ketan atau beras itu.
Salah satu usaha dodol Ponorogo yang kini menjadi jujukan warga atau pelancong yang datang ke Kota Reog itu adalah milik Rudy Hartono dengan merek Dodol Teguh Rahardjo. Dodol Teguh Rahardjo dijual di Jalan Wibisono, Kepatihan, Kota Ponorogo.
Rudy Hartono mengemukakan bahwa dirinya meneruskan usaha ayahnya Teguh Rahardjo yang memulai bisnis sejak 1982. Teguh Rahardjo sendiri juga meneruskan usaha orang tuanya secara turun temurun.
Dulu, dodol merek itu hanya membuat tiga varian rasa, yakni beras, ketan dan wajik. Seiring berkembangnya usaha, kini sudah diproduksi 20 rasa, antara lain kentang, waluh, pisang, nanas, coklat, tape, mangga, kurma, kacang ijo, ketan wijen, madumungso, sirsak dan lainnya.
“Ada juga yang rasa durian yang sementara dihentikan, karena bahan bakunya tidak ada. Rasa bliming, terong, tomat dan wortel juga kami hentikan dulu karena permintaan kurang. Sementara tiga rasa original masih tetap berproduksi. Kami menggunakan buah asli untuk dodol ini, termasuk kurma,” katanya, Rabu (1/7).
Ia menjelaskan bahwa untuk tiga rasa yang original berproduksi setiap hari dengan dengan kapasitas 10 kilogram per jenis, yakni beras, ketan dan wajik. Dalam 10 kilogram bahan dasar itu dihasilkan 100 pak dodol yang satu bungkusnya dijual Rp12.500.
Untuk rasa kentang dan waluh berproduksi dua sampai tiga kali dalam sepekan, sedangkan yang lainnya hanya sepekan sekali. Sekali pembuatan rata-rata hampir sama, yakni menghabiskan 10 kilogram bahan utama ketan atau beras.
Rudy menegaskan bahwa dodol buatannya tidak menggunakan bahan pengawet. Karena itu, masa kedaluwarsanya tidak terlalu lama. Misalnya untuk rasa wajik dan beras hanya bertahan empat hari, ketan satu pekan, kentang, waluh dan kacang ijo bisa 10 hari, sementara rasa coklat, kurma dan tape bisa betahan satu bulan.
Ia mengatakan jarang dodol buatannya yang tidak laku sampai habis masa kedaluwarsanya. Hal itu disiasati dengan selalu membaca peluang pasar. Ia selalu memproduksi dodol disesuaikan dengan apakah sedang hari libur atau tidak.
Dengan cara seperti itu, maka usahanya aman karena tidak sampai ada dodol yang berjamur.
Saat musim puasa ini dirasakan Rudy permintaan memang tidak terlalu banyak. Bahkan bisa di bawah omzet hari-hari biasa. Hari-hari biasa ia bisa menghabiskan 300 bungkus dodol berbagai jenis, dan hari libur di luar bulan puasa 500 bungkus. Penjualan meningkat hingga 700 bungkus per hari biasanya terjadi saat libur Lebaran.
Dengan harga per bungkus Rp12.500, maka omzet hari biasa penjualaan dodol itu mencapai Rp3.750.000 per hari, dan pada libur Lebaran bisa mencapai Rp8.750.000 per hari.
“Sekitar 95 persen produk ini kami jual sendiri, dan yang 5 persen ditipkan ke toko lain, termasuk di Ponorogo dan Madiun. Rata-rata dodol ini digunakan untuk oleh-oleh atau dikirim ke kota lain,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: