Bandung, Aktual.com-Pengamat Politik IPI Karyono Wibowo mengatakan menyimak hasil survei yang dirilis CIGMark Research and Consulting, ada beberapa catatan yang menjadi highlight;
Pertama, dari aspek elektabilitas, sosok Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar paling mendominasi dukungan pemilih. Dari 13 nama yang diuji sebagai bakal calon gubernur Jabar, jika pilgub dilaksanakan sekarang ini, sosok Ridwan Kamil mendapatkan dukungan paling banyak dengan elektabilitas 32.3%.
Walikota Bandung ini kata Karyono bersaing dengan incumbent Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar yang berada di posisi kedua dengan tingkat dukungan sebesar 22.8%.
Sedangkan Dede Yusuf dan Dedi Mulyadi bersaing ketat di posisi ketiga karena selisihnya berada di ambang batas margin error (3,4%).
Elektabilitas Dede Yusuf lanjut dia berada di posisi 12.1% dan Dedi Mulyadi yang saat ini menjadi bupati Purwakarta mendapatkan dukungan sebesar 10.9%.
Selanjutnya, sambung Karyono di bawah Dedi Mulyadi ada 3 kandidat yang bersaing yaitu Netty Prasetyani Heryawan istri Ahmad Heryawan gubernur Jawa Barat yang memperoleh dukungan 4.9% bersaing dengan Rieke Dyah Pitaloka 3.6% dan Anton Charliyan 3.5%.
“Sementara itu, Elektabilitas kandidat lainnya di bawah 1%. Dari data elektabilitas tersebut, ada dua figure utama dominan yaitu RK dan Demiz,” terang Karyono di Bandung, Kamis (30/11).
Kedua, lanjut dia meskipun elektabilitas RK dan Demiz dominan tetapi belum pada posisi aman. “Ada beberapa alasan yang membuat posisi keduanya belum aman, yakni jumlah pemilih RK maupun Demiz masih cenderung rendah,” jelas dia.
Lebih lanjut dia mengatakan pemilih RK yang loyal atau yang tidak akan berubah (strong voters) hanya 20.1%.
“Sementara pemilih militan Demiz hanya 10.6%. Jumlah swing voters masih sekitar 50%, berarti ada separuh pemilih yang masih mengambang. Pemilih mengambang ini akan menjadi penentu kemenangan dalam pilkada Jabar mendatang,” ujar Karyono.
” Dengan demikian, pemenangnya akan ditentukan oleh efektifitas kinerja dan strategi yang tepat sasaran dalam menarik dukungan pemilih mengambang,” ungkap dia.
Selain itu, lanjut dia jika dilihat dari aspek periode waktu menentukan pilihan, masih ada 22.2% pemilih yang baru akan menentukan pilihannya pada masa kampanye, pada masa tenang 18.4%, sebelum berangkat ke TPS 13.5% dan di tempat pemungutan suara 16,4%.
“Jika dijumlahkan ada sekitar 70.5% pemilih yang berpotensi menjadi swing voters yang masih bisa dipengaruhi. Belum lagi, pertarungan isu dalam proses pilkada akan turut mempengaruhi pemilih,” kata dia.
Karyono menambahkan sudah dianggap lazim jika dalam kompetisi electoral, berbagai isu negatif akan berhamburan dalam perang persepsi untuk mempengaruhi pemilih.
Dalam strategi kampanye kata dia secara garis besar ada dua kerangka besar, mendowngrade elektabilitas competitor dan mengupgrade elektabilitas kandidat.
“Biasanya, yang paling banyak mendapat serangan isu negatif adalah kandidat yang paling kuat,” kata dia.
Oleh karena itu, imbuh dia RK akan banyak mendapat serangan isu negatif baik secara langsung maupun tidak langsung tertuju ke RK.
“Salah satu contoh serangan tidak langsung terhadap RK adalah munculnya pemberitaan tentang hasil survei Transfaransi International Indonesia (TII) yang menempatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Bandung sebagai kota dengan persepsi suap tertinggi. Persepsi Suap Kota Bandung mencapai 10.8% dari total biaya produksi,” terang dia.
Survei ini kata Karyono diselenggarakan di 12 kota yang mewakili provinsi masing-masing pada Juli hingga Agustus 2011.
Pemberitaan tentang IPK Kota Bandung tersebut tambah Karyono dapat membentuk citra negative terhadap RK apabila dilakukan secara massif.
“Namun yang lebih dahsyat lagi apabila ditemukan sejumlah fakta yang menyangkut hal-hal negatif yang berkaitan langsung dengan si kandidat, seperti isu LGBT, isu syiah yang pernah beredar,” jelas Karyono.
Ketiga, lanjut dia ada fenomena menarik dari survei ini, yaitu Posisi RK terancam oleh Demiz ketika diadu secara berpasangan.
“Fenomenanya adalah adanya perbedaan selisih yang cukup signifikan antara elektabilitas di posisi sebagai cagub dengan elektabilitas dalam simulasi pasangan,” ungkap Karyono.
“Selisih elektabilitas antara RK dengan Demiz dalam posisi sebagai cagub sekitar 9,5%. Tetapi, selisihnya semakin tipis jika di adu dalam simulasi pasangan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa simulasi pasangan RK – Daniel Mutaqien (38.4%) vs Demiz-Ahmad Syaekhu (34.6%), Anton Charliyan – Netty Heryawan 9.2%, selisih antara pasangan RK – Daniel dengan Demiz – Ahmad Syaekhu hanya 3.8%. RK – Daniel Mutaqien (36.2%) versus Deddy Mizwar-Netty Heryawan (30.6%), Dedi Mulyadi – Anton Charliyan (15.2%), selisih antara RK – Daniel dengan Demiz – Netty Heryawan 5.6%. Simulasi RK – UU Ruzhanul Ulum (36.1%) versus Demiz – H. Mulyadi (32.3%), selisihnya hanya 3.8%. Begitu pula jika RK berpasangan dengan Syaiful Huda (35.2%) vs Demiz – H. Mulyadi (31.6%), Dedi Mulyadi – Netty Heryawan (15.0%), selisih antara pasangan RK – Syaiful Huda dengan Demiz – H. Mulyadi hanya 3.6%,” terang dia.
Keempat, kata dia Faktor Ahmad Heryawan juga menarik, Gubernur Jabar dua periode ini bisa menjadi variable penting dalam menentukan kemenangan.
“Pasalnya, pengaruh Ahmad Heryawan dalam mempengaruhi pemilih cukup signifikan. Data survei ini menunjukkan ada 32.6% pemilih akan mendukung apabila Ahmad Heryawan mendukung salah satu calon gubernur. Persoalan political endorsements ini merupakan fenomena umum yang terjadi pula di sejumlah daerah, dimana seorang kepala daerah masih memiliki pengaruh. Namun demikian, besar atau kecilnya pengaruh kepala daerah atau tokoh yang lain ditentukan oleh rekam jejak (track record) tokoh tersebut.
Kelima, sentiment agama di Jawa Barat masih cukup tinggi. Ada 85.3% pemilih menjadikan pertimbangan kesamaan agama dalam menentukan pilihan. Kedua, sentiment kesamaan asal daerah 68%, kesamaan suku (etnic) 54.9%,” pungkas Karyono.
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs

















