Dalam lanskap politik Indonesia yang semakin rapuh dan sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok elit, hukum yang seharusnya menjadi penopang keadilan kini justru kian kehilangan martabatnya. Di balik wacana supremasi hukum, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hukum kerap dijadikan alat permainan kekuasaan, dimodifikasi, dipelintir, bahkan ditundukkan demi kepentingan politik dan kapital.

Pada konteks inilah, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Universitas Hasanuddin (Unhas) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) pada 17 September 2024, mengangkat tema “Kerapuhan Etika Penyelenggaraan Negara.” Diskusi ini menyoroti dinamika kritis dalam etika hukum dan pemerintahan di Indonesia, di mana praktik kriminalisasi serta politik bagi-bagi kekuasaan sering digunakan untuk melumpuhkan lawan politik. Hukum tak lagi menjadi instrumen penegak keadilan, melainkan alat yang diatur sesuai dengan kebutuhan kekuasaan.

Kriminalisasi dan politik bagi-bagi kekuasaan telah menjadi senjata ampuh untuk menaklukkan lawan politik, membuat hukum tak lebih dari alat kekuasaan. Hukum yang seharusnya kokoh sebagai penegak keadilan kini fleksibel di tangan elit, diubah sesuai kebutuhan politik praktis dan kepentingan kapital. Dalam banyak kasus, hukum tak lagi berfungsi sebagai pengayom rakyat, melainkan perpanjangan tangan segelintir elit yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Ini bukan hanya mengikis martabat hukum, tapi juga merusak demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, pemimpin politik justru sibuk mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, sementara rakyat terjebak dalam ilusi popularitas tanpa mempertimbangkan substansi visi yang sebenarnya mereka butuhkan.

Ketika pemimpin mengabaikan etika dalam menjalankan tugasnya, etika dalam tata kelola hukum pun runtuh. Proses legislasi yang seharusnya menjadi instrumen kedaulatan rakyat sering terseret dalam arus kepentingan politik praktis dan modal. Partai politik, yang seharusnya menjadi penjaga moral dan pengontrol kekuasaan, justru terjebak dalam politik transaksional, mengutamakan kepentingan sesaat daripada rakyat. Akibatnya, hukum tak lagi ditegakkan demi kebenaran dan keadilan, tetapi demi melindungi kekuasaan.

Ironisnya, Pancasila yang menjadi dasar negara sering kali hanya dijadikan slogan politik kosong tanpa implementasi nyata. Jika Pancasila benar-benar dijadikan falsafah politik dan hukum, produk hukum yang dihasilkan seharusnya mampu mengatasi konflik kepentingan dan mengedepankan etika. Namun, kenyataannya, politik Indonesia kerap menjadi medan perselingkuhan antara kekuasaan dan modal. Kolaborasi ini merusak tatanan demokrasi dan budaya hukum, menyebabkan hukum kehilangan moralitas dan mengukuhkan kekuasaan atas nama kepentingan elit.Sistem hukum yang terjebak dalam pusaran kepentingan politik dan kapital jelas membutuhkan reformasi. Salah satu solusinya adalah menegakkan supremasi etika, bukan hanya supremasi hukum. Artinya, hukum harus dijalankan dengan berlandaskan nilai-nilai etika, bukan hanya sekedar aturan yang tertulis. Dengan demikian, hukum akan lebih bermakna dan tidak hanya menjadi alat kekuasaan. Jika hukum hanya dilihat sebagai sekumpulan aturan, maka ia akan tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, dimana masyarakat kecil menjadi korban ketidakadilan sementara elit berkuasa dapat dengan mudah menghindari jerat hukum.

Kesadaran bersama harus dibangun untuk mengembalikan martabat hukum dan demokrasi di Indonesia. Dalam konteks ini, perlu dibentuk undang-undang yang mengatur etika berbangsa dan bernegara serta pembentukan Mahkamah Etik Nasional yang bertugas menegakkan etika di kalangan penyelenggara negara. Hal ini penting agar perilaku para pemimpin politik tidak hanya diukur dari kepatuhan mereka pada hukum, tetapi juga dari sejauh mana mereka menjunjung tinggi nilai-nilai etika.

Dalam upaya memperkuat supremasi etika dalam hukum, memisahkan peradilan hukum dan peradilan etika adalah langkah yang mendesak. Kasus di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjadi bukti bahwa sistem hukum kita belum mampu memisahkan ranah etika dari ranah hukum. Keputusan yang bersifat etis seharusnya berdiri sendiri, tidak tunduk pada koreksi peradilan hukum. Kerapuhan ini menunjukkan bahwa budaya hukum di Indonesia masih rentan karena krisis keteladanan. Ketika para pemimpin yang seharusnya menjadi panutan justru terlibat dalam skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, masyarakat kehilangan figur untuk dijadikan contoh. Bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk mematuhi hukum dan berperilaku etis ketika mereka melihat para penyelenggara negara melanggar nilai-nilai dasar yang mereka anjurkan?

Krisis keteladanan ini menciptakan celah besar dalam tatanan hukum dan demokrasi. Hukum, yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak rakyat, malah dijadikan alat untuk menekan lawan politik dan memperkuat kekuasaan. Ketika hukum diperalat untuk melanggengkan kekuasaan, bukan hanya tatanan demokrasi yang terancam, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan pemerintahan. Hanya dengan keteladanan yang kuat dari para pemimpin, nilai-nilai etika dapat mengakar di semua lapisan masyarakat, dan hukum dapat kembali berfungsi sesuai dengan tujuan aslinya: menegakkan keadilan.

Perkembangan teknologi digital menambah dimensi baru dalam masalah budaya hukum di Indonesia. Di era digital ini, kekuasaan tidak hanya memainkan kontrol melalui institusi formal, tetapi juga melalui manipulasi opini publik di media sosial dengan bantuan buzzer. Popularitas pejabat dan kebijakan sering kali direkayasa melalui algoritma digital, bukan didasarkan pada prestasi nyata. Masyarakat pun terjebak dalam ilusi demokrasi, seakan-akan setiap kebijakan pemerintah mendapatkan dukungan rakyat. Namun, kenyataannya, keputusan-keputusan penting tetap berada di tangan segelintir elit.

Manipulasi digital ini memperparah kondisi budaya hukum yang sudah rapuh. Ketika kebijakan dan hukum dibentuk berdasarkan opini publik yang telah dimanipulasi, maka keadilan tidak lagi menjadi tujuan utama. Sebaliknya, hukum dimanfaatkan untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan dan menekan pihak-pihak yang berseberangan. Dalam konteks ini, etika digital harus ditegakkan agar teknologi tidak semakin merusak tatanan hukum dan demokrasi. Sayangnya, tanpa regulasi etis yang jelas, teknologi menjadi senjata ampuh bagi penguasa untuk membentuk narasi palsu yang menyesatkan masyarakat.

Untuk menghadapi tantangan ini, langkah konkret yang diperlukan adalah positivisasi etika. Nilai-nilai etika tidak bisa lagi hanya menjadi norma sosial yang abstrak, tetapi harus diinstitusionalisasi melalui aturan tertulis yang jelas dan mengikat. Etika harus memiliki sanksi seperti halnya hukum, sehingga nilai-nilai Pancasila benar-benar dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak boleh lagi hanya menjadi slogan politik yang hampa makna, tetapi harus menjadi fondasi nyata dalam pembentukan hukum dan kebijakan.

Dalam upaya mengembalikan budaya hukum yang berkeadilan, seluruh elemen masyarakat dari pemimpin negara hingga rakyat biasa harus bersatu. Supremasi etika harus dijadikan landasan utama dalam menjalankan hukum, agar hukum tidak lagi hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Reformasi politik dan hukum yang mendasar sangat diperlukan, termasuk memisahkan peradilan hukum dan peradilan etika, serta mempositivisasi nilai-nilai etika agar menjadi bagian integral dari sistem hukum.

Namun, ini bukan hanya soal reformasi institusional ini adalah perang melawan tatanan kekuasaan yang korup dan manipulatif. Jika kita terus membiarkan hukum dijadikan alat permainan oleh elit politik dan hukum yang berlaku adalah hukum kekuatan digital, maka kita tidak hanya mengubur demokrasi, tetapi juga mengkhianati cita-cita Pancasila. Saatnya bertindak! Jika kita gagal menegakkan etika, maka yang tersisa hanyalah demokrasi semu dan hukum yang melayani kepentingan modal dan kekuasaan. Indonesia tidak boleh jatuh dalam jebakan ini kita harus berjuang untuk mengembalikan keadilan dan moralitas dalam setiap sendi kehidupan bernegara.

 

Pakar Komunikasi Politik: Benny Susetyo

 

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano