Jakarta, Aktual.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan penataan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Pelalawan, Riau, dengan menggusur warga yang bermukim di wilayah tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan lembaganya telah melakukan pemantauan lapangan di Tesso Nilo pada 5-9 Agustus 2025. Dari hasil peninjauan, ditemukan ancaman terhadap hak bertempat tinggal, hak kesejahteraan, hak atas rasa aman, hingga hak anak, terutama karena penutupan sekolah di kawasan tersebut.
“Komnas HAM menemukan ada lima sekolah negeri yang terancam ditutup. Jika itu dibiarkan, maka akan merugikan masa depan anak-anak. Kehadiran aparat bersenjata di pemukiman juga menimbulkan rasa takut dan trauma warga,” kata Anis dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi XIII DPR RI di Jakarta, Senin (29/9/2025).
Menurutnya, kawasan yang akan ditertibkan telah lama dihuni masyarakat dengan fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, dan permukiman tetap. Pengabaian fakta ini dinilai berpotensi melanggar hak mengembangkan diri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
“Komnas HAM merekomendasikan Pemerintah menunda penggusuran paksa di TNTN, membuka ruang dialog partisipatif, serta menghindari penggunaan kekuatan berlebihan. Dialog genuine consultation harus dilakukan agar penyelesaian tidak merugikan masyarakat yang sudah puluhan tahun bermukim di kawasan tersebut,” tegas Anis.
Selain itu, Komnas HAM meminta kebijakan penertiban kawasan hutan didasarkan pada kajian komprehensif, termasuk hasil tim revitalisasi ekosistem TNTN, serta menjamin perlindungan prosedural terhadap warga terdampak.
Keluhan Warga
Juru bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan di Riau Abdul Azis mengatakan akar masalah bermula dari SK 173/1986 tentang penunjukan kawasan hutan di Riau.
Ia menuturkan terdapat oknum pemerintah yang lalai melaksanakan penataan batas sehingga ribuan desa diklaim masuk kawasan hutan tanpa kepastian hukum.
“Sejak 1986 hingga kini kawasan hutan hanya ditunjuk tetapi tidak pernah dikukuhkan sesuai Pasal 14 Undang-Undang Kehutanan. Akibatnya masyarakat dituding sebagai perambah atau penduduk ilegal di tanah yang sudah dihuni jauh sebelum TNTN ditetapkan,” ujar Abdul Azis dalam rapat dengan Komisi XIII DPR di Jakarta, Senin (29/9/2025).
Ia menambahkan penunjukan kawasan hutan TNTN pada tahun 2004 dan 2009 seluas lebih dari 80 ribu hektare tidak didahului penetapan batas. Kawasan itu bahkan pernah dikelola perusahaan sejak 1970-an.
“Kalau ditelusuri, justru ada 153 ribu hektare hutan yang diberikan izin tebang ke 13 perusahaan dengan nilai kayu mencapai lebih dari Rp7 triliun. Namun, masyarakat kecil yang justru ditekan,” katanya.
Perwakilan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan Wandri Simbolon menyampaikan kebijakan TNTN berdampak langsung terhadap tujuh desa dengan sekitar 50 ribu jiwa.
Ia menyebut kehadiran satuan tugas penertiban kawasan hutan menimbulkan ketakutan warga hingga terjadi dugaan kekerasan terhadap anak-anak.
“Kami menolak relokasi karena akan menghilangkan rumah, sekolah, dan rumah ibadah yang sudah ada puluhan tahun. Bahkan pernah ada kasus anak SD dicekik aparat satgas dengan alasan bercanda. Itu cara yang tidak manusiawi,” ucap Wandri.
Menurut dia, pembatasan aktivitas warga dengan pemasangan portal, larangan menanam, hingga pemutusan akses ekonomi memperburuk kondisi masyarakat.
Kerugian akibat kebijakan itu ditaksir mencapai Rp708 miliar, terutama dari pinjaman KUR, leasing, dan pajak yang gagal dibayar warga.
Keluhan juga disampaikan Forum Desa Korban Tata Kelola Hutan di Indragiri Hulu. Ketua forum, Irwantoni, menjelaskan desanya yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tiba-tiba ditetapkan sebagai kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) berdasarkan SK 903/2016.
Akibat status itu, sertifikat tanah masyarakat tidak lagi berlaku dan lahan yang dikuasai warga dipatok ulang oleh satgas.
“Padahal lahan itu satu-satunya sumber penghidupan warga. Jika tidak ada perubahan kebijakan, masyarakat kami akan bernasib sama seperti desa-desa di Tesso Nilo,” kata Irwantoni.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















