Jakarta, Aktual.com – Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius mencoba untuk melobi Mahfud MD selaku Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang menggugat PP 72 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Tidak hanya itu, dia juga membangun komunikasi dengan pakar hukum Jimly Asshiddiqie untuk menggalang dukungan dan menjelaskan bahwa PP tersebut tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Kita sudah komunikasikan dengan penggugat, komunikasinya masih terjadi. Kita nggak melihat dimana titik lemah yang menjadi poin gugatan. Memang hampir semua produk kebijakan baik berupa PP yang diuji. Kita sudah diskusi dengan Prof mahfud dan Prof Jimly Asshiddiqie,” katanya kepada Aktual.com, Rabu (22/3).
Namun sayang dia tidak bersedia mengungkapkan hasil pertemuan itu, dan dia juga terkesan menyembunyikan poin yang menjadi perbedaan pandangan sehingga PP tersebut berujung ke meja Mahkamah Agung (MA).
“Prinsip nggak ada masalah dengan Prof Mahfud. Kita belum lihat, apa yang digugat kita nggak tahu. Hanya bilang gitu judicial review. Pasal mana yang membuat mereka tidak nyaman, kita tidak tahu,” tandasnya.
Untuk diketahui, atas nama Majelis Nasional KAHMI, Mahfud MD yang didukung beberapa lembaga dan pakar lainnya telah mengajukan gugatan secara resmi pada tanggal 10 Maret 2017 ke MA.
Diantara pokok-pokok gugatan yanki mengenai ketentuan barang milik negara pada Pasal 2 ayat (2) huruf (b). Ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap UU BUMN karena akan menjadi dasar hukum pencucian aset negara yang akan dialihkan ke pihak lain dengan melalui penyertaan modal pada BUMN.
Kemudian pasal 2A dinilai bertentangan dengan UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Selain itu juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Nomor 48/PUU-XI/2013. Ketentuan ini berpotensi sebagai legitimasi privatisasi diam-diam oleh Pemerintah tanpa melibatkan DPR RI.
Laporan: Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan