Jakarta, Aktual.com — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengidentifikasi modus pendanaan terorisme yang berisiko tinggi yakni menggunakan pendanaan dalam negeri melalui sumbangan ke yayasan dan penyalahgunaan yayasan.

“Kebanyakan mereka menggunakan wadah yayasan, sedangkan ada 130.000 yayasan di Indonesia,” kata Ketua PPATK Muhammad Yusuf, Jakarta, Senin (28/12).

Menurutnya, modus pendanaan melalui yayasan dilakukan dengan berbagai latar belakang seperti untuk kegiatan keagamaan, pendidikan dan sosial.

Untuk itu, ia mengatakan dana yang masuk ke yayasan juga perlu diaudit sehingga diketahui asal dan peruntukan dana itu.

“Setiap aliran dana masuk ke yayasan, harus diaudit supaya jelas dari mana asalnya dan digunakan untuk apa sehingga tidak disalahgunakan untuk praktik-praktik tertentu seperti terorisme,” ujarnya.

Selain melalui yayasan, ia mengatakan modus pendanaan terorisme juga dilakukan melalui kegiatan usaha atau berdagang dan kegiatan kriminal.

Ia memberikan contoh banyaknya dana yang masuk ke suatu perusahaan tidak sebanding dengan nilai dan jumlah transaksi yang dilakukan sehingga dikhawatirkan terkait dengan tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Ia mengharapkan aparat penegak hukum dapat memfokuskan pada tiga tindak pidana asal yang berisiko tinggi terjadinya pencucian uang yakni narkotika, korupsi dan perpajakan.

Sementara, bagi pihak regulator, ia mengharapkan dapat memfokuskan perhatian terhadap kebijakan dan pengawasan pelaksanaan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme pada industri pasar modal.

Selain itu, ia mengatakan pentingnya peranan seluruh pemangku kepentingan dalam mendukung integrasi dan akses data untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Muhammad Yusuf mengatakan terdapat sembilan wilayah yang berisiko tinggi terjadinya tindak pidana pendanaan terorisme yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darusalam, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat.

“Untuk pemindahahan dana terorisme yang berisiko tingi yaitu melalui sistem pembayaran elektronik, sistem pembayaran online, sedangkan untuk transaksi yang beresiko tinggi yaitu tarik atau setor tunai,” ujarnya.

Di sisi lain, ia mengatakan sejak 2010 hingga 2015, ada lebih dari 50 kepala daerah dengan transaksi keuangan mencurigakan.

Ia mengatakan hasil analisis terhadap lebih dari 50 kepala daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia itu telah diserahkan ke penegak hukum.

Namun, ia mengatakan penegak hukum masih terbentur dengan kecukupan alat bukti untuk menjerat lebih dari 50 kepala daerah itu.

“Semuanya belum ada ‘feedback’hukum ditindaklanjuti,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh: