Ia menambahkan pelaku sangat tahu kondisi dan sudah tahu apa risiko dan konsekuensi dari apa yang mereka perbuat, sampai menimbulkan korban bagi petugas kepolisian yang harus meninggal dunia. “Jadi pelaku menyadari risiko terburuk dari apa yang dilakukannya,” katanya.

Dari kejadian dan tindakan yang diperbuat tersebut terlihat para pelaku masih mengganggap bahwa perbuatannya atau tindakan sebagai pelaku teroris adalah benar. Dan menganggap simbol “polisi” adalah musuh bagi pelaku. Ini yang jadi bagian masalah, selanjutnya masalah lain adalah pembinaan dan penempatan napi ini juga menjadi masalah utama.

“Maka Kementrian Hukum dan HAM harus memiliki formulasi yang berbeda untuk melakukan pembinaan bagi tahanan atau napi teroris. Penempatan tahanan di Mako Brimob tidak efektif dan pembinaan napi masih belum maksimal. Karena para napi belum memiliki kesadaran atau rasa bersalah atas perbuatan yang dilakukannya, di sini perlu polesan sentuhan kemanusiaan,dan tentunya wujud perlindungan hak asasi itu teroperasional agar pelaku merasa masih ada kesempatan dan manfaat dalam hidupnya serta dapat sadar,” paparnya.

Persoalannya, kata dia, polisi yang masih “dianggap” sebagai musuh oleh para pelaku akan sulit untuk memberikan nutrisi penyadaran kepada para napi sehingga Kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen Lapas harus bergerak cepat dan kembali pada tupoksi sebenarnya untuk melakukan pembinaaan kepada para napi.

“Bukan mengalihkan atau menempatkan para napi dengan karakteristik khusus ini kepada pihak kepolisian,” katanya.

 

(Wisnu)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara