Jakarta, Aktual.com – Presiden Joko Widodo mendengarkan keluhan-keluhan para sopir truk yang beroperasi di Jawa, Sumatera maupun Kalimantan mengenai premanisme dan pungutan liar.
“Saya sudah dengar semuanya. Saya kaget tadi ternyata banyak ‘cap’. Saya juga tidak tahu ‘cap’ itu apa. Saya baru dikasih tahu, oh cap itu ‘kayak gitu’,” kata Presiden Joko Widodo di Istana Negera Jakarta, Selasa.
Presiden Joko Widodo menemui sekitar 70 orang para pengemudi truk dari berbagai kelompok dan mendengarkan keluhan mereka mengenai banyaknya premanisme berbentuk pengecatan truk dengan nama kelompok tertentu saat melintasi jalanan.
Bila truk sudah dicat atau lazim disebut “dicap” maka pengemudi harus membayar sejumlah uang kepada kelompok yang “mengecap” truk tersebut, bila tidak maka ada kaca truk akan dipecahkan, atau ban akan disobek bahkan sopir ditodong dengan golok. Hal itu terjadi di pulau Sumatera, Jawa maupun Kalimantan.
“Oh punglinya preman, jalan mana lagi? Di Marunda? Cakung-Cilincing, Cikampek-Cirebon, terus mana lagi? Lampung mana? Lintas Timur OK biar dicatat Pak Wakapolri (Komjen Polisi Syafrudin), Samarinda-Balikpapan pungli petugas? OK terus, Mesuji, Prabumulih,” kata Presiden mengulang sahutan dari para sopir mengenai lokasi pungli yang mereka alami.
“Dari Jambi sampai Medan titik rawan paling banyak memasuki Riau dan dan memasuki Medan, lintas timur dari Lampung paling dominan wilayah hukumnya Polres Mesuji, mungkin Polres Mesuji sudah tahu tapi kewalahan mungkin perlu diback-up Mabes Polri,” kata seorang sopir.
Sopir lain juga mengeluhkan jalanan di lintas Sumatera yaitu dari perbatasan Aceh, di Binjai sampai Medan dan dari Medan sampai Pekanbaru batasnya hingga Bengkalis, lalu dimulai lagi dari jalur Pelalawan Riau.
“Kemarin sampai mobil teman saya dibakar, mulai lagi perbatasan Jambi dan Palembang, masuk Sumatera yang namanya Bedengseng, rajanya ‘cap-capan’ lewat rumah makan di situ kalau kita lewat saja kita ‘gak ngapa-ngapain’ kita lewat warung wajib bayar, kalau tidak bayar kaca pecah, kalau tidak golok sampai di leher, kalau tidak ban kita disobek, itu siang bolong,” jelas sopir tersebut.
“Diminta berapa sih itu?” tanya Presiden.
“Bervariasi, berapa yang diingat dia saja, kalau Rp200 ribu ya Rp200 ribu, kalau Rp2 juta ya Rp2 juta,” ungkap Presiden.
“Loh kok gede banget?” tanya Presiden.
“Ya begitu Pak, setelah itu jalur itu yang rawan lagi untuk sekarang-sekarang mulai kabupaten Ogan Ilir sampai ke simpang Tanjung Lumbuk khususnya Kayu Agung, berbatasan dengan kabupaten Ogan Komering Ilir,” jelas sopir.
“Berinya berapa?” tanya Presiden.
“Mobil yang pakai merek, bayar Rp10.000Rp-20 ribu, satu kali lewat,” jawab supir.
“Stempel itu apa?” tanya Presiden.
“Yang disemprot-semprot di mobil kita itu pak, mobil kita dicat lalu dibikin merek dia,” jawab supir.
“Cap pengawalan? Ada apa lagi?” tanya Presiden.
“Di Sumatera merek itu RPAD, ke medan PSDS, ASDS, KR, Sinar Toba, Sapantau, APBK, ADL, Harimau Jalan, SBN, masih banyak susah menghitungnya kalau ditulis satu buku,” jawab sopir.
“Banyak banget itu,” kata Presiden.
“Di daerah Marunda pengawalannya TRK sama HCP wilayah Jakarta, intinya pengemudi pengen rasa nyaman, ingin anak bisa sekolah, ingin aman,” kata sopir lain.
“Ini yang saya ingin dengar langsung dari bapak semuanya, ini dari Sumatera ada, Kalimantan juga, Jawa ada komplit, saya kira di Jawa saja,” tambah Presiden.
Hadir dalam pertemuan itu Wakapolri Komjen Syafruddin dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: