Jakarta, Aktual.com – Rancangan Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 terutama tentang pasal yang mewajibkan network sharing dan frequency sharing semua operator jaringan telekomunikasi di Indonesia sudah siap ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mengingatkan Jokowi agar tidak menandatangani revisi PP tersebut sebelum dikaji telebih dahulu oleh Tim Ekonomi Presiden. Meski revisi PP 52 dan 53 sudah disetujui Menteri Komunikasi dan Informatika, Menko Perekonomian, serta secara terpaksa oleh Menteri BUMN.
“Jika dikaitkan dengan keinginan Presiden Jokowi untuk mencari pendanaan infrastruktur melalui sekuritisasi BUMN ke investor, tentunya tak akan optimal untuk mendapatkan hasil dana sekuritisasi BUMN seperti Telkom Group,” ujar Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Ekonomi FSP BUMN Bersatu, Ferdinand Situmorang, di Jakarta, Selasa (6/12).
Menurutnya, revisi PP 52 dan 53 itu akan menurunkan fair value (nilai wajar) dari Telkom hingga 24 persen atau setara dengan Rp17 triliun. Sehingga book value (nilai buku) Telkom juga akan semakin merosot hingga 30 persen, sesuai data yang dirilis pihaknya.
“Jika revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 diukur dengan fair value terhadap aktiva tetap Telkom berupa infrastruktur jaringan dan frekuensi, hal ini akan berdampak menurunkan nilai aktiva Telkom di masa yang akan datang,” cetusnya.
Sehingga berdampak dengan nilai pasar sekuritas yang diterbitkan Telkom karena turunnya infrastruktur investment gain Telkom itu. Pasalnya, infrastruktur jaringan dan frekuensi yang dibangun selama ini tidak meningkatkan daya saing dalam memproduksi layanan telekomunikasi.
Selain itu, lanjut Ferdinand, kebijakan itu akan membuat cost produksi operator non Telkom Group akan jauh lebih murah dengan menggunakan infrastruktur jaringan dan frekuensi milik Telkom itu.
Mereka justru akan bisa menjual dengan harga produk yang tinggi, karena tidak dibebani dengan biaya investasi, perawatan dan nilai penyusutan dari infrastruktur seperti yang ditanggung oleh Telkom selama ini.
“Dengan begitu operator non Telkom bisa menurunkan capex (capital expenditure) dan opex (operational expenditure) tapi justru mendapatkan laba yang tinggi akibat revisi PP 52 & 53 Tahun 2000 itu,” cetus dia.
Menurut Ferdinand, akibat capex yang selama ini dikeluarkan oleh Telkom cukup besar dalam investasi infrastruktur jaringan dan frekuensi, tetapi tidak memberikan capital gain yang tinggi, maka berdampak pada menurunnya book value dan market value dari sekuritas yang diterbitkan Telkom itu. Dampaknya tentu menurunnya minat beli investor.
Dengan demikian revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 yang berpotensi menurunkan fair value, book value dan market value akan membuat keinginan Jokowi untuk mencari dana pembangunan proyek infrastruktur sebesa kurang lebih Rp 5.000 trilyun melalui sekuritasisasi aset BUMN ke investor swasta akan kurang optimal dalam mendapatkan dana yang dihasilkan nantinya.
Pada akhirnya akan berimbas terhadap menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di sektor pembangunan infrastruktur telekomunikasi dari semua operator seluler di Indonesia.
“Karena kan capex mereka akan menurun, dan akhirnya akan berdampak pada tidak tumbuhnya lapangan kerja baru dan pertumbuhan Industri manufacturing di sektor infrastruktur telekomunikasi itu,” terang Ferdinand.
Dengan kebijakan ini, kata dia, sudah pasti semua operator non Telkom yang menyewa network dan frekuensi operator lainnya tidak perlu membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi.
“Untuk itu, kami minta Jokowi membatalkan revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 ini. Dan sudah saatnya Jokowi mempertimbangkan Menkominfo Rudiantara untuk direshuffle,” pungkasnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid