Sejumlah abdi dalem membawa peti jenazah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Sri Paduka Pakualam IX saat pelepasan jenazah pada prosesi pemakaman di Ndalem Ageng, Komplek Puro Pakualaman, Yogyakarta, Minggu (22/11). Sri Paduka Pakualam IX yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu meninggal di usia 77 tahun pada hari Sabtu (21/11) karena sakit. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/pd/15.

Yogyakarta, Aktual.com – Setahun pasca dikeluarkannya Sabda Raja oleh Gubernur Yogyakarta Sultan HB X, beragam intrik yang terjadi di Kesultanan Mataram Islam itu hingga kini masih terus bergulir.

“Dengan segenap kerendahan hati, kami minta Presiden Jokowi segera turun tangan sebelum persoalan ini semakin rumit dan tak terkendali,” ujar Ketua Dewan Pengurus Forum LSM DIY, Beny Susanto, Minggu (21/8).

Bagi Beny, Sabda Raja yang berisikan perubahan nama, gelar dan pengangkatan putri mahkota tersebut bertentangan dengan hukum internal Keraton (Paugeran) serta UUK DIY No 13 tahun 2012, sehingga seharusnya batal demi hukum.

Sejauh ini kata Beny respon pemerintah masih menganggap persoalan ini urusan internal Keraton, sebagaimana Wapes JK yang menyatakan pemerintah tak ingin campur tangan perihal kontroversi Sabda Raja.

“Justru Presiden mempunyai mandat berdasar UUK terkait implementasi yang dilakukan oleh Gubernur. Sultan HB X harus tunduk pada ketentuan Paugeran dan UUK dalam konteks NKRI yang berdasarkan konstitusi. Sabda Raja tidak boleh melampaui,” terangnya.

Forum LSM DIY menilai, sejumlah persoalan dan hambatan pembangunan di DIY tak terlepas dari dampak keluarnya Sabda Raja. ‘Krisis’ yang terjadi berakibat lahirnya ketimpangan, kemiskinan, konflik vertikal seperti penolakan pembangunan mal, apartemen serta hotel yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.

“Kemandulan DPRD DIY dan berbagai struktur politik atas persoalan ini tidak bisa dibiarkan, kesalahan Sultan HB X bukanlah sederhana tapi amat serius,” kata Beny.

Meski demikian, ia mengimbau penolakan atas Sabda Raja harus dilakukan dalam koridor tradisi luhur Jawa dan peraturan per-UU-an, tanpa kekerasan, perusakan juga tindakan pidana.

Diketahui, penolakan tak hanya muncul dari internal Keraton, Rayi Dalem dan keluarga besar trah HB I sampai HB IX, melainkan juga sejumlah ormas seperti NU, Jamaah Nadliyin Mataram, Pejuang Khalifatullah dan berbagai elemen sipil.

Cucu dari Sultan HB VIII, KRT Jatiningrat yang dikenal dengan panggilan Romo Tirun menyatakan bahwa perbuatan Sultan HB X telah jauh menyimpangi tradisi dan idealisme Kesultanan Keraton yang telah dipegang secara turun temurun.

“Saya prihatin dengan apa yang terjadi, keluarga terpecah belah, saya nangis didalam hati, malu luar biasa. Saya tau ada aktor intelektual di balik (Sabda Raja) ini, jelas,” kata dia. (Nelson Nafis)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid