Jakarta, Aktual.com — Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menyarankan Presiden Joko Widodo meninjau kembali delapan nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan panitia seleksi.

“Dalam menerima calon yang diajukan panitia seleksi, Presiden perlu membuat catatan tertulis atas kualitas dan rekam jejak karena masih banyak calon yang diragukan idependensi, integritas, dan kredibilitasnya,” kata anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Julius Ibrani di Jakarta, Selasa (1/9).

Selain itu, Presiden juga harus memberi peringatan keras dan pendisiplinan kepada kepolisian dan intitusi asal capim KPK lainnya atas upaya-upaya mereka menganggu pansel KPK dalam bekerja, yang mempermalukan Presiden sebagai pemberi mandat.

Dia mengatakan, Presiden juga harus menunjukkan kepemimpinan dan keberpihakannya dalam agenda penguatan KPK dengan tidak memberi ruang pada revisi UU KPK dan UU Tipikor, serta meminta kepada jajarannya untuk berhenti mempromosikan wacana pembubaran KPK.

“Sebaliknya, memastikan terus mendukung KPK dari proses kriminalisasi, pemangkasan kewenangan dan pengurangan anggaran,” kata koordinator bantuan hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.

Selain itu, kata Julius, Presiden juga harus memprakarsai dan mendorong setiap calon untuk membuat deklarasi konflik kepentingan dan pakta integritas untuk memastikan independensi, imparsialitas, dan standar tinggi dalan bekerja.

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi lainnya Febri Hendri mengatakan instrumen seleksi oleh pansel tidak mampu memilah calon bermasalah dari sejak awal, dan memilih calon-calon berkulitas dan memiliki rekam jejak dalam upaya pemberantasan korupsi.

“Masih terasa kecenderungan memberi ruang kepada pihak-pihak yang selama ini nyata-nyata ingin mengurangi kewenangan KPK, melemahkan KPK melalui kriminalisasi, maupun mengurangi kewenangan organisasinya. Seperti yang diungkapkan Basaria Panjaitan dalam wawancara kemarin yang menolak dengan tegas penyidik independen,” kata dia.

Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) itu juga menyayangkan adanya pemikiran komposisi dari pansel yang menafsirkan seolah-olah pimpinan KPK wajib mengandung perwakilan polisi dan jaksa.

“Penafsiran tersebut telah mengabaikan landasan hukum UU KPK, landasan historis seleksi dan kepemimpinan KPK selama ini, dan landasan sosiologis KPK sebagai lembaga yang harus independen dan terpisah dari beban loyalitas ganda,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu