Jakarta, Aktual.com – Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai menilai Presiden Joko Widodo hanya berpangku tangan melihat kejahatan yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya di Rakhine.
Menurutnya, presiden terkesan membiarkan tanpa adanya intervensi kemanusiaan. Bahkan dia menyebut Indonesia sebagai negara tetangga tidak mampu melakukan perang diplomatik dengan Myanmar.
“Seharusnya kita tingkatkan tekanan diplomatik untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan terhadap umat muslim oleh Pemerintah Myanmar,” ujar Pigai dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (3/9).
Dia menjelaskan, politik luar negeri kita adalah aktif. Dengan demikian, harus secara aktif pula menciptakan perdamaian dunia.
“Indonesia sebagai negara ASEAN yang juga sebagai negara muslim terbesar dunia, jangan takut mengambil resiko untuk menekan pemerintah Myanmar,” tegas dia.
Pria asal Papua ini menekankan bahwa pemerintah jangan takut untuk tekan Myanmar hanya karena terikat dengan traktat ASEAN yang non intervensi urusan domestik.
Lebih jauh Pigai menuturkan, Jokowi harus belajar dari pengalaman Soekarno. Meski proklamator dan Jawaharal Nehru adalah sahabat karib, bahkan India menyediakan tanah 5 hektar untuk kantor kedutaan besar di New Delhi.
Namun ketika perang India dan Pakistan 1965, Soekarno mengirimkan kapal perang angkatan laut bantu Pakistan karena solidaritas Islam. Bahkan Soekarno memusuhi Nehru yang sahabat karibnya.
“Kalau Soekarno saja bisa meninggalkan persahabatan dengan Nehru India, mengapa Jokowi begitu takut terhadap Myanmar? Apakah Jokowi memang membawa agenda internasional untuk menghancurkan umat muslim? Mengapa tidak bisa mengambil sikap tegas dengan memutuskan hubungan diplomatik?” tanyanya.
Dia menegaskan, semua negara di dunia ini memiliki kewajiban untuk melindungi kejahatan kemanusiaan sebagai tindakan yang tidak disukai umat manusia di dunia (Hostis humanis generis).
“Oleh karena itu tidak ada yang salah kalau bangsa ini secara aktif berperan menciptakan perdamaian abadi di Myanmar Selatan,” demikian Pigai.
Fadlan Syiam Butho
Artikel ini ditulis oleh: