Jakarta, Aktual.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menyampaikan perlunya reformasi arsitektur keuangan global dalam KTT G20 di Antalya Turki, Minggu (15/11).
“Presiden juga akan menyampaikan perlunya diferensiasi curency international, perlunya memperhatikan dampak kebijakan moneter suatu negara lain ke negara lain,” demikian kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, di Hotel International Comfort (IC) Santai Antalya Turki, Sabtu (14/11) malam.
Agenda pertemuan G20 pada Minggu (15/20) antara lain pertemuan pengusaha negara-negara G20 (B0) dan pertemuan para pemimpin G20 (L20) pada pukul 09.30-11.00 waktu setempat (WS)
Kemudian penyambutan resmi dan sesi foto pada pukul 12.00-13.30 WS, makan siang pukul 13.30-15.00 WS yang juga diisi dengan pembahasan pembangunan dan perubahan iklim.
Kemudian, pada pukul 15.30-18.00 Sesi Kerja I yang membahas pertumbuhan inklusif, ekonomi global, strategi pertumbuhan serta strategi penyediaan lapangan kerja dan investasi.
Selanjutnya, dalam sesi makan malam jam 20.30-22.30 WS akan dibahas tantangan global terorisme dan krisis pengungsi.
“Dalam sesi soal climate change, Indonesia akan mendorong suksesnya pertemuan di Paris 30 November 2015 dan komitmen tinggi Indonesia penanganan emisi,” kata Retno.
Sementara itu agenda pada Senin (16/11) antara lain Sesi Kerja II yang membahas ketahanan ekonomi yang menyangkut regulasi keuangan, pajak, anti korupsi reformasi IMF.
Pada sesi makan siang akan dibahas antara lain mengenai perdagangan, energi, adopsi komunike dan Rencana Aksi Antalya.
Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah Indonesia akan menyerukan pentingnya pembiayaan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi global dalam pertemuan tingkat tinggi G20.
“Indonesia akan terus mendorong munculnya atau tumbuhnya infrastructure financing dan mendorong agar semua sepakat bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkualitas dengan pembangunan infrastruktur,” kata Menkeu.
Poin tersebut merupakan salah satu agenda yang akan disuarakan oleh pemerintah Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang berlangsung di Antalya, Turki pada 15-16 November 2015.
Menkeu menjelaskan agenda pembiayaan infrastruktur ini sejalan dengan hasil dari forum G20 sebelumnya, yang menargetkan tambahan dua persen pertumbuhan ekonomi global dalam lima tahun mendatang.
“Pertumbuhan global tahun ini hanya 3,1 persen, jadi ini memang agak berat, karena tahun depan perkiraan hanya 3,6 persen. Ini tugas berat tapi menjadi komitmen G20, karena pertumbuhan bisa mengatasi masalah sosial, seperti pengangguran, kemsikinan dan ketimpangan,” ujarnya.
Pembangunan infrastruktur bisa menjadi solusi utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi global dalam lima tahun menjadi kisaran empat atau lima persen, apalagi banyak lembaga multilateral yang saat ini memberikan pinjaman untuk pembiayaan proyek infrastruktur.
Pembiayaan investasi untuk sarana infrastruktur juga menjadi perhatian khusus, karena Indonesia saat ini merupakan co-chair Investment and Infrastructure Working Group di G20 bersama dengan Jerman dan Meksiko.
Selain itu, Indonesia akan menyuarakan kepentingan negara berkembang (emerging market) terkait reformasi di dalam Dana Moneter Internasional (IMF) yang hingga saat ini belum menemui titik temu karena AS belum memberikan persetujuan.
“Indonesia pada posisi dan mendorong agar reformasi ini terus berjalan dan negara yang mengalami hambatan bisa mengatasi masalahnya. Ini untuk kepentingan bersama, karena kami ingin IMF yang lebih kuat dan peduli pada emerging market dan developing countries,” kata Menkeu.
Menkeu menambahkan Indonesia dalam forum G20 akan kembali mengingatkan bagi negara maju yang ingin menyesuaikan kebijakan moneternya agar mempertimbangkan dampaknya secara global kepada negara-negara berkembang.
“Indonesia ingin agar siapapun yang membuat kebijakan moneter agar memperhatikan dampaknya secara global. Siapapun silahkan, karena itu hak mereka untuk menjaga stabilitas makro, tapi perhatikan juga dampaknya,” ujarnya.
Menkeu mengacu pada kebijakan stimulus moneter Quantitative Easing (QE) 2008, yang ternyata merupakan stimulus semu bagi pertumbuhan global, apalagi saat ini dunia sedang menanti kemungkinan kenaikan suku bunga acuan The Fed (Bank Sentral AS).
“Ketika QE kemudian dihentikan, kita lihat dampaknya pada perlambatan ekonomi global. Perlambatan ini berpengaruh pada kemiskinan dan pengangguran. Kami hargai dan mengakui pentingnya kebijakan moneter, tapi dampaknya bukan hanya ke sektor finansial, tapi juga ke politik dan sosial,” tambahnya.
Poin terakhir yang ingin disampaikan pemerintah Indonesia dalam pertemuan G20 adalah apresiasi atas kesepakatan yang disusun bersama dengan OECD terkait pertukaran informasi pajak internasional antara negara anggota.
Artikel ini ditulis oleh: