Jakarta, Aktual.com – Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad menyebut, bank-bank nasional harus siap melakukan perbaikan untuk merespon keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar fee tabungan lebih murah.

“Sebenarnya sudah dipenuhi, terutama untuk produk Simpel (Simpanan pelajar) sudah tidak ada fee-nya,” ujar Muliaman, di Jakarta, Senin (31/10).

Dirinya sudah menjelaskan ke Jokowi, bahwa tabungan tertentu yang besar memang masih ada fee-nya. “Tapi khusus simpel yang kecil-kecil ini biaya administrasinya tidah ada. Jadi saya tak khawatir, karena bank-bank nasional memang harus siap,” ujar Muliaman.

Menurut Muliaman, tabungan-tabungan besar untuk diturunkan fee-nya memang mungkin saja. Apalagi kalau kebijakan penurunan fee itu diserahkan ke bank-nya, sehingga pihak bank sendiri yang mengukur pola transaksi nasabahnya.

“Kemudian baru dihitung komponen lainnya, misal biaya menangani rekening itu, dan lainnya. Jadi saya optimis bisa (diturunan fee-nya),” ujar dia.

Sehingga ke depan, produk-produk tabungan yang diturunkan fee-nya tak hanya di produk Simpel.

“Karena untuk tabungan besar itu, mereka itu bersaing. Maka kalau mau laku tentunya harus banyak memberikan fasilitas-fasilitas bebas biaya adiministrasi, dan lainnya,” tegas mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia ini.

Sekarang ini, kata dia, regulator dan pelaku industri jasa keuangan (IJK) terus mendorong masyarakat agar budaya menabung tumbuh dan berkembang lagi.

Tapi di sisi lain, bagi pelaku IJK tantangannya juga tidak kecil, harus menyiapkan diri untuk bisa lebih inovatif dan kreatif.

“Kita jelaskan ke masyarakat bahwa kalau dana yang disimpan itu di luar sistem keuangan tidak menjadi produktif,” jelas dia.

“Tapi kalau di dalam sistem keuangan, uang ini bisa menjadi kredit pembiayaan dan lainnya, sehingga dapat bermanfaat bagi perekonomian,” imbuhnya.

Saat ini, jumlah tabungan yang ada memang masih sedikit. Meski begitu, dengan potensi yang tinggi dan pendidikan yang semakin meningkat, serta pendapatan per kapita yang meningkat dan kelompok menengah yang bertambah, sehingga akan banyak permintaan terhadap jasa-jasa keuangan yang lebih bervariasi.

Sejauh ini, berdasar data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), angka rasio savings to GDP Indonesia baru mencapai 31% itu masih lebih rendah dibandingkan dengan Singapura yang sebesar 49%, Philipina sebesar 46%, serta China 49%.

Selain itu, budaya menabung juga masih rendah yanh ditunjukkan dengan menurunnya tingkat Marginal Propensity to Save (MPS/keinginan untuk menabung) meskipun GDP per kapitanya naik.

Menurut data Bank Dunia 2014, MPS masyarakat Indonesia hanya sebesar 36,1% atau lebih rendah dibanding dengan negara ASEAN lain seperti Thailand, Malaysia dan Singapura.[Busthomi]

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid