Jakarta, Aktual.com — Presiden mengimbau Badan Informasi Geospasial (BIG) beserta lembaga negara terkait untuk segera menyelesaikan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) untuk menghilangkan potensi konflik atas penguasaan lahan, yang selama ini masih terjadi di antara berbagai kelompok kepentingan.
Imbauan tersebut disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Luhut B Pandjaitan ketika menjadi pembicara pada Workshop Nasional Penataan Ruang dan Penyederhanaan Perizinan Industri Kelapa Sawit untuk Pertumbuhan Nasional Berkelanjutan, di Jakarta, ditulis Rabu (12/8).
Menurut dia, One Map Policy mengandung makna Satu Referensi, Satu Standard, Satu Database dan Satu Geoportal dapat menjadi rujukan baku untuk menetapkan tata ruang lahan dan hutan di daerah.
Luhut menegaskan untuk mengatasi konflik lahan pemerintah sedang menyusun Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). “Secara khusus, kami mendesak BIG untuk segera menyelesaikan kebijakan tersebut,” ujarnya.
Pihaknya akan memantau terus penyusunan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) karena terkait dengan iklim investasi di sektor perkebunan dan kehutanan.
“Saya akan pantau terus penyusunan kebijakan ini agar semua persoalan terkait lahan bisa cepat teratasi,” ucapnya.
Pada kesempatan itu Luhut menyatakan, industri dan perkebunan sawit adalah salah satu komoditas utama Indonesia yang memiliki kontribusi devisa dan tenaga kerja yang signifikan.
Oleh karena itu, pemerintah akan berkomitmen untuk pengembangan dan perlindungan industri dan perkebunan sawit,” ujar Luhut.
Menurut dia, perlu dibangun kepercayaan dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan swasta untuk bersama-sama mengatasi kondisi yang sulit saat ini.
“Kerjasama itu penting untuk mengatasi tantangan antara lain konflik lahan yang sering terjadi,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani juga mengakui banyak perundangan yang harus diharmonisasikan untuk mendukung iklim investasi di sektor perkebunan.
“Kalau tidak disinkronkan, persoalan ini tidak akan selesai, termasuk soal penataan ruang,” katanya.
Dia menjelaskan investasi di sektor perkebunan cenderung meningkat setiap tahun, rata-rata pertumbuhan realisasi PMA industri minyak sawit dalam lima tahun terakhir sebesar 140 persen, sedangkan perkebunan kelapa sawit sebesar 15 persen.
Sedangkan rata-rata pertumbuhan realisasi PMDN industri minyak sawit dalam lima tahun terakhir sebesar 145 persen, khusus perkebunan kelapa sawit sebesar 1,3 persen.
“Padahal rencana investasi yang kami catat lebih besar, mereka sudah mengantongi izin prinsip. Nah untuk mendorong rencana investasi itu dapat direalisasikan, kebijakan one map policy perlu dipercepat agar investor memiliki rujukan tata ruang lahan,” paparnya.
Berdasarkan data BKPM, sepanjang semester I/2015, rencana investasi PMA yang masuk di sektor perkebunan tercatat 2,97 miliar dolar AS, yang sudah terealisasi hanya 849 juta dolar AS.
“Begitu juga di PMDN, rencana investasi tercatat Rp10,9 triliun, realisasinya baru Rp5 triliun,” ujarnya.
Dia menilai salah satu tantangan realisasi investasi itu karena investor membutuhkan kepastian hukum terkait lahan.
“Jika tidak, dikhawatirkan seiring pergantian pemimpin daerah, kebijakan tata ruang di daerah bisa berubah, ini bisa jadi preseden buruk bagi investasi. Investor butuh kepastian dan dukungan pemerintah untuk memastikan realisasi investasi,” katanya.
Plt Dirjen Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Budi Situmorang juga mengakui terkait tata ruang di daerah, kepala daerah sering mengubah rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) tanpa berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
“Daerah sering seenaknya mengubah tata ruang. Karena itu sekarang dibuat aturan perubahan tata ruang minimal lima tahun sekali. Bisa di bawah lima tahun dengan catatan terjadi bencana atau proyek pembangunan skala nasional,” ucapnya.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011, BIG ditunjuk sebagai penyelenggara Informasi Geospasial Dasar yaitu Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar yang menjadi acuan untuk menjamin keterpaduan informasi nasional.
Atas dasar amanat UU itu, BIG mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar (One Map), yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif alat bantu pemecahan masalah konflik sosial akibat tumpang tindihnya data dasar kepemilikan atau penguasaan lahan.
BIG telah menyelesaikan Peta Dasar skala kecil yaitu skala 1:250.000 untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan untuk skala besar yaitu skala 1:25.000 baru diselesaikan wilayah Sulawesi Selatan dan ditargetkan rampung pada 2015.
Artikel ini ditulis oleh: