Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua, Maikel Primus Peuki, pembangunan yang dilakukan tanpa melibatkan masyarakat lokal telah menyebabkan konflik dan ketidakpuasan, serta mengancam keberlanjutan lingkungan, salah satunya persoalan deforestasi dan tercerabutnya hak ulayat masyarakat adat.

“Ada sekitar 5-6 perusahaan yang melakukan deforestasi dan menyingkirkan masyarakat dari ruang hidup mereka,” tuturnya.

Fenomena kerusakan hutan yang mulai bergeser ke Papua melalui penyebaran izin tambang, perkebunan sawit, HPH, HTI, THE, yang telah lama beroperasi dan bermunculan sejak pascapemekaran daerah otonomi baru di Papua.

“Potensi pertambangan perizinan industri ekstraktif bertambah dengan adanya kebijakan Daerah Otonomi Baru ( DOB) di Papua”, paparnya.

Ia menekankan bahwa pembangunan harus melibatkan masyarakat lokal dan mempertimbangkan kesejahteraan mereka. Tanpa adanya pendekatan yang inklusif, potensi konflik akan terus meningkat, dan kerusakan lingkungan akan semakin parah.

Sementara itu, Dosen Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura, Aji Ali Akbar, menyoroti permasalahan stunting yang terjadi di daerah kaya SDA seperti Papua. Menurutnya, ironis bahwa daerah dengan kekayaan alam berlimpah justru memiliki angka stunting yang tinggi.

“Stunting terbesar terjadi di Papua, padahal di sana ada minyak, gas, emas, dan segala macam sumber daya alam,” ujarnya.

Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengelolaan SDA dan kesejahteraan masyarakat setempat. Aji menegaskan bahwa walaupun regulasi di Indonesia sudah cukup baik, implementasinya yang masih jauh dari harapan menyebabkan dampak negatif bagi sebagian masyarakat.

Selain itu, Aji juga menyoroti masalah bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, terutama banjir dan tanah longsor.

“Bencana alam ini sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi lahan yang terjadi puluhan tahun lalu,” jelasnya.

Menurutnya, pengelolaan SDA yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan menjadi salah satu penyebab utama bencana-bencana tersebut. Dalam pandangannya, salah satu solusi adalah penguatan penegakan hukum, terutama di bidang lingkungan hidup.

Di sisi lain, Bambang Hero Saharjo, Pakar Lingkungan dari IPB University, menyoroti korupsi besar-besaran yang terjadi dalam pengelolaan SDA, seperti kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan timah yang menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.

“Kasus timah di Babel menyebabkan kerugian lingkungan sebesar Rp 271 triliun. Ini adalah salah satu contoh bagaimana SDA kita dikelola dengan sangat buruk,” ujarnya.

Bambang juga mengkritisi lemahnya etika penyelenggara negara dalam menangani SDA, di mana korupsi menjadi kendala utama dalam pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, regulasi yang ada sering kali bertumpuk dan justru saling beradu, tidak saling mendukung.

Pakar Hukum Lingkungan Universitas Brawijaya, Rachmad Safa’at menambahkan, kerusakan SDA di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia.

Ia menyoroti bagaimana eksploitasi SDA secara besar-besaran telah merusak hutan-hutan di Kalimantan dan menyebabkan kekayaan SDA tidak dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia.

“Eksploitasi SDA kita luar biasa, tapi hasilnya untuk siapa?” tanyanya. Menurut Rachmad, oligarki dan dominasi perusahaan asing dalam sektor SDA telah menyebabkan rakyat Indonesia, terutama masyarakat lokal, tidak dapat menikmati kekayaan alam mereka sendiri.

Kisworo Dwi Cahyono dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, menyampaikan eksplotasi SDA yang berlebihan tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan para pejuang lingkungan.

“Eksploitasi SDA yang dilakukan secara serampangan tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam nyawa pejuang lingkungan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa berbagai regulasi seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja justru memperkuat dominasi oligarki dalam pengelolaan SDA, yang semakin menjauhkan rakyat dari hak mereka atas SDA.

Dalam pandangan Kisworo, salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah melalui revisi atau pencabutan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, serta penguatan sistem penegakan hukum yang mampu mengadili kejahatan terhadap SDA secara lebih efektif.

Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam audit dan evaluasi semua perizinan tambang serta penegakan prinsip-prinsip keadilan dalam pengelolaan SDA.

Menyikapi permasalahan tersebut, BPIP akan menyusun rekomendasi untuk disampaikan kepada Presiden terpilih agar dapat ditindaklanjuti sebagai upaya mencapai kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Hal tersebut diungkapkan Anggota Dewan Pengarah BPIP, Prof. Dr. M. Amin Abdullah yang memantik jalannya diskusi.

“Kita akan bawa ini untuk disampaikan kepada Presiden terpilih. Pak Prabowo itu bapaknya pahlawan. Saya yakin darah patriotiknya masih terjaga untuk mengurai persoalan ini”, ungkap Prof. Amin.

Salah satu upaya yang akan dilakukan BPIP adalah menginisiasi dan mendorong adanya UU Etika Pengatur dan Pembuat Kebijakan yang berasaskan nilai-nilai Pancasila, terutama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, BPIP menekankan pentingnya adanya badan atau komisi yang melindungi ekosistem lingkungan hidup.

“BPIP mengawal agar penerapan nilai-nilai Pancasila dalam pengelolaan SDA dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan yang terjadi, seperti konflik lahan, ketidakadilan ekonomi, dan degradasi lingkungan”, tutup Prof. Amin.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano