(ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Sidang Paripurna yang digelar di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2) lalu mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang perubahan kedua atas Undang undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (DPRD) menjadi Undang-Undang (UU).

Ada hal yang menarik pada sidang paripurna kala itu, ditandai dengan aksi walkout dari dua fraksi yakni Fraksi Partai Nasdem dan Fraksi PPP, kendati demikian Pimpinan Sidang Paripurna yakni Wakil Ketua DPR Fadli Zon tetap menanyakan soal pengesahan Revisi UU MD3 tersebut kepada peserta Sidang Paripurna yang masih tersisa yakni dari 8 fraksi di DPR.

“Selanjutnya kami menanyakan apakah Rancangan Undang Undang atas perubahan kedua tentang UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bisa disahkan menjadi UU?” sebut Fadli.

Sontak secara bersamaan seluruh Anggota DPR yang hadir pun menyetujui untuk dilakukannya pengesahan revisi UU tersebut dengan ditandai ketuk palu sidang oleh Fadli Zon.

Sebelum kemudian disahkan, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas pun menguraikan 14 substansi yang ada pada perubahan UU MD3 tersebut.

Perubahan tersebut diantaranya yakni penambahan Kursi Pimpinan MPR, DPR dan DPD serta penambahan Wakil Pimpinan MKD serta penambahan rumusan Mekanisme Pimpinan MPR dan DPR dan alat kelengkapan dewan hasil pemilu 2014. Serta ketentuan mengenai mekanisme penetapan Pimpinan MPR, DPR dan AKD setelah Pemilu 2019.

Selain itu terdapat substansi perubahan lainnya seperti perumusan kewenangan DPD dalam memantau dan evaluasi rancangan peraturan daerah (Raperda) dan Perda.

“Juga penambahan rumusan kemandirian DPD dalam rumusan anggaran,” jelas Supratman.

Pada substansi perubahan UU MD3 lanjut Suratman juga diatur tentang rumusan pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat secara umum yang melibatkan kepolisian.

“Penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas DPR,” papar Suratman.

Selain kepada PDI-P akan diberikan kepada dua partai lain yang berdasarkan perolehan suara masuk dalam tujuh besar namun belum mendapat kursi Pimpinan MPR yakni Gerindra dan PKB.

Delapan Fraksi Ini Sepakat Dukung PDIP Isi Kursi Pimpinan DPR dan MPR

Sebelum pengesahan pada Sidang Paripurna, Senin (12/2) lalu. Fraksi di DPR menggelar Rapat Panja pengambilan keputusan soal revisi RUU MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3 bersama Pemerintah yang saat itu diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), delapan fraksi pun menyetujui untuk penambahan tiga kursi pimpinan MPR dan satu pimpinan DPR untuk kemudian dibawa ke Sidang Paripurna.

“Kami dapat menyetujui tambahan satu ketua dan tujuh wakil ketua (untuk MPR). Dan yang telah disepakati sebelumnya penambahan satu pimpinan DPR (kepada PDIP),” jelas Menkumham Yasonna Laoly kepada Media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (8/1) lalu.

Sementara dua fraksi lainnya yakni Partai Nasdem dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak adanya penambahan kursi untuk pimpinan MPR.

Menurut Yasonna, penolakkan tersebut sebagai hal biasa yang merupakan bagian dari dinamika politik yang berkembang saat ini.

Ditambah lagi tambah dia sesuai dengan hasil pembahasan telah disepakati penambahan kursi pimpinan ini hanya sampai pada tahun 2019 saja.

Setelah itu pada periode 2019-2024 Pimpinan DPR pun bakal dikembalikan pada mekanisme partai pemenang pemilu.

“Sesudah 2019 kita kembali kepada mekanisme sesuai dengan sebelumnya. Hanya kesepakatan kita proporsional pemenang pemilu di DPR sesuai dengan peraturan existing,” kata Yasonna.

PDI-P Tegaskan Penambahan Kursi Pimpinan DPR Bukan Sekadar Kejar Jabatan

Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menganggap adanya penambahan kursi Pimpinan DPR dan MPR sebagai upaya untuk mengembalikan prinsip keterwakilan di parlemen, utamanya bagi partai dengan kursi terbanyak di DPR, yakni PDIP.

Dimana lanjut dia penambahan kursi Pimpinan DPR dan MPR tersebut termaktub pada revisi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD.

“Mengembalikan esensi demokrasi dan ruh representatif DPR sebagai lembaga yang dihasilkan dari Pemilu 2014. Jadi bukan jabatan (saja), melainkan pemaknaan terhadap komposisi kepemimpinan yang mencerminkan hasil Pemilu yang lalu,” kata Hendrawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Hendrawan penambahan kursi Pimpinan DPR bagi PDIP bukan untuk sekedar mengejar jabatan lantaran masa jabatan tersebut hanya tersisa 1,5 tahun untuk menduduki kursi wakil ketua.

Tetapi lanjut dia, hal itu justru membawa pada kondusivitas politik di DPR sehingga kinerja Anggota DPR diharapkan bisa tetap optimal.

“Coba bayangkan kalau UU MD3 sekarang diterapkan lagi pada 2019? Kerja sama partai pendukung pemerintah bisa sapu bersih jabatan di DPR. Apa ini yang kita inginkan? Apakah politik penuh intrik yang ingin kita ukir?” urai Hendrawan.

“Dengan revisi terbatas ini, kita justru ‘menjinakkan’ potensi ‘keliaran’ dan politik gontok-gontokan yang bisa muncul di 2019,” tambah Hendrawan.

Asal Proporsional, Ketum PAN Setuju Penambahan Kursi Pimpinan DPR untuk PDIP

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan pun mendukung adanya penambahan kursi Pimpinan DPR dan MPR melalui revisi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).

PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2014 lalu kata dia seharusnya memiliki kursi pimpinan di DPR dan MPR.

“Saya setuju karena dari awal PDIP itu sebagai pemenang pemilu, pemenang pemilu kok enggak ada di pimpinan itu ya bagaimana ya,” kata Zulkifli.

Kendati demikian, Zulkifli mengatakan jika penambahan kursi pimpinan harus proporsional. Artinya penambahan kursi tidak harus berlaku bagi seluruh fraksi.

“Saya setuju proposional saja jadi enggak berantem terus, sudah proposional saja urutan pemenang dapat ketua berikutnya habis itu ada MPR,” jelas Zulkifli.

Tidak Ada Urgensinya Penambahan Kursi Pimpinan DPR-MPR

Pendapat berbeda datang dari Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti. dirinya menilai jika penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR tidak ada urgensinya dan hanya untuk kepentingan pragmatis politik.

“Saya sih melihatnya ini seperti bagi-bagi. Tentu saja ini praktik yang mesti disayangkan, tetapi banyak terjadi,” kata Bivitri di Jakarta.

Bivitri pun menyebut jika aksi “bagi-bagi” kekuasaan semacam ini kerap terjadi saat jelang pemilu.

Oleh karenanya dia menilai jika keputusan tersebut hanyalah demi kepentingan pemilu.

Banyak hal memang dilakukan oleh DPR demi kepentingan pemilu. Selain bagi-bagi kursi pimpinan, lanjut dia DPR juga masih kekeuh mensyaratkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu untuk berkonsultasi sebelum membuat peraturan.

“DPR masih punya posisi strategis. Jadi bukan hanya soal uang, fasilitas, tetapi juga strategis dalam hal kebijakan dan anggaran,” sebut dia.

Oleh sebab itu, Bivitri berpendapat tidak adanya urgensi terkait penambahan kursi pimpinan DPR-MPR.

“Namanya sidang, okelah collective collegial. Tetapi pimpinan sidang biasanya satu. Jadi urgensi tidak ada, kecuali bagi-bagi power saja,” sesal Bivitri.

Golkar Sebut Penambahan Kursi Pimpinan DPR-MPR Sebagai Upaya Tebus Dosa

Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono menilai dengan adanya penambahan kursi Pimpinan DPR dan MPR yang masuk dalam UU MD 3 kali ini, mirip dengan penebusan dosa, lantaran ada hak partai lain yang dilanggar.

“Ini sebuah keadaan yang unik. Tapi saya kira ini sebagai penebus dosa. Mungkin pada waktu yang lalu mestinya memang partai pemenang pemilu yang jadi Ketua DPR. Tapi ada perekayasaan,” sesal Agung, di kediamannya di Bilangan Cipinang, Jakarta.

Menurut Agung penambahan Kursi Pimpinan DPR dan MPR yang hanya berlaku untuk 1,5 tahun ke depan terpaksa dilakukan demi menjaga kondusivitas politik. Dan sudah seharusnya partai pemenang pemilu seperti PDI-P mendapat jatah kursi Pimpinan DPR.

Pada periode selanjutnya lanjut Agung jumlah pimpinan DPR dan MPR harus dikembalikan menjadi lima seperti semula.

“Jangan bertambah lagi. Sepertinya haus kekuasaan kalau terlalu banyak. Tapi ini konsensus. Ya terima. Saya kira sebagai suatu upaya penyelesaian pada masa lalu ada yang perlu dibenahi dan sekarang inilah jalan keluarnya,” kata Agung.

“Tidak boleh lama. Setelah selesai harus kembali ke keadaan seperti sebelumnya, satu ketua dengan empat wakil. Saya kira ada dalam politik yang bisa harus memberikan kekompakan. Demi stabilitas politik nasional,” tambah Agung.

Fahri: Tak Akan Ada Deadlock

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun angkat soal adanya penambahan satu kursi pimpinan untuk PDIP, Fahri mengatakan dirinya belum tahu pasti soal pembagiannya seperti apa.

“Kita akan ada rapim dulu soal pembagian tugasnya itu seperti apa?” kata Fahri kepada Aktual.com di Jakarta, Senin (19/2).

Fahri pun menjamin saat adanya pengambilan keputusan tidak akan terjadi deadlock.

“Kita sudah menyepakati mekanisme kolektif kolegial sekarang ini,” kata Fahri.

Fahri pun membantah adanya penambahan kursi pimpinan DPR sebagai upaya bagi-bagi kekuasaan.

“Dari niat dari awalnya supaya di dalam kepemimpinan DPR itu terefleksi partai-partai pemenang pemilu dalam hal ini PDIP, maksudnya memang niatnya itu,” jelas Fahri.

Dengan adanya penambahan kursi Pimpinan DPR, Fahri pun berharap agar kinerja DPR menjadi lebih baik kedepannya.

“Insya Allah itu yang kita harapkan. Saya kira nanti akan ada penjabaran tugasnya setelah kita rapim pertama nanti ya,” tukas dia.

Pewarta : Novrizal Sikumbang

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs