“Selain itu, upah riil buruh dan petani juga menurun. Berbeda dengan kalangan menengah atas meski ada dananya, tapi ada kecenderungan menahan belanja karena ekspektasi terhadap perekonomian yang menurun,” jelas Bhima.

Dia menegaskan, pendapatan kelompok menengah atas sebenarnya memang tidak berkurang hanya mengalihkan dananya ke simpanan di perbankan.

“Terbukti, untuk DPK (Dana Pihak Ketiga) per Mei lalu misalnya naik hingga 11%,” kata dia.

Sementara itu, terkait upaya untuk menggenjot daya beli, dia menyarankan agar pemerintah untuk membangkitkan daya beli keduanya, baik berupa stimulus maupun menghentikan kebijakan yang kontraproduktif terhadap daya beli. Itu yang harus dilakukan pemerintah.

“Dan soal stimulus itu dengan keterbatasan anggaran tidak lagi bicara fiskal tapi juga moneter. Makanya, otoritas moneter harus segera keluarkan stimulus. Terutama penurunan suku bunga dan peningkatan loan to value (LTV) agar cicilan masyarakat makin ringan,” katanya.

Berdasar data BPS, tren penurunan daya beli memang terjadi. Karena geliat pertumbuhan juga berjalan stagnan. Jika dilihat dari struktur Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pengeluaran atas dasar harga berlaku di kuartal II-2017 maka pengeluaran rumah tangga sebesar 55,61 persen. Angka itu berarti mengalami penurunan tipis dibanding sebelumnya yang 56,96 persen.

Sementara jika dilihat dari porsi pertumbuhan ekonominya dari total 5,01 persen, maka pengeluaran kelompok rumah tangga (PK-RT) di kuartal II-2017 terhadap kuartal II-2016 juga paling dominan yaitu di angka 4,95 persen. Angkanya relatif stagnan dibanding kuartal sebelumnya yang cuma 4,94 persen.

Yang jadi masalah adalah pengeluaran konsumsi pemerintah. Ternyata di kuartal II-2017 itu tak ada kontribusi sama sekali yaitu -1,93 persen, padahal pada kuartal I-2017 sebesar 2,68 persen.

(Reporter: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka