Petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) memindahkan kotak suara Pemilu 2024 di gudang logistik KPU Jakarta Pusat, GOR Cempaka Putih, Senin (5/2/2024). ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/tom.

Jakarta, Aktual.com — Wacana perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah kembali menghangat dan memicu perbedaan sikap di antara partai politik. Sejumlah partai, seperti Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyatakan dukungan terhadap pilkada melalui DPRD. Sementara itu, PDI Perjuangan dan Partai Demokrat menolak skema tersebut dan tetap mempertahankan pilkada langsung.

Perdebatan ini dinilai bukan semata persoalan prinsip demokrasi, melainkan juga mencerminkan kalkulasi politik dan kepentingan elektoral masing-masing partai.

Pengamat politik Arifki Chaniago menilai, perbedaan pandangan antarpartai menunjukkan adanya pembacaan untung–rugi yang berbeda terhadap dua model pilkada tersebut. Pilkada langsung, kata dia, memberikan legitimasi kuat karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sistem ini juga dikenal mahal dan rawan praktik politik uang.

“Partai yang mendukung pilkada langsung masih melihat nilai elektoral dari hubungan langsung dengan pemilih. Sementara yang mendorong pilkada lewat DPRD membaca tingginya biaya politik sebagai beban sistemik yang tak pernah benar-benar selesai,” ujar Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia itu, Jumat (25/12/2025).

Menurut Arifki, pilkada melalui DPRD kerap diklaim lebih efisien dari sisi anggaran negara. Namun, efisiensi tersebut menyimpan risiko lain, yakni konsentrasi transaksi politik di ruang-ruang elite yang lebih tertutup.

“Yang terjadi bukan penghapusan biaya politik, melainkan pergeseran. Dari kampanye massal ke lobi elite, dari ruang publik ke ruang tertutup DPRD,” jelasnya.

Ia mengingatkan, perdebatan soal mekanisme pilkada bisa menyesatkan jika tidak dibarengi pembenahan serius terhadap penegakan hukum pemilu. Menurutnya, akar masalah pemilu di Indonesia bukan pada sistem pemilihan, melainkan lemahnya sanksi terhadap pelanggaran.

“Mengganti pilkada langsung ke DPRD tanpa memperkuat penegakan hukum hanya mengubah bentuk masalah, bukan substansinya,” kata Arifki.

Ia menambahkan, pilkada lewat DPRD berpotensi menimbulkan defisit kepercayaan publik jika mekanisme pengawasan elite politik tidak diperkuat.

“Dalam demokrasi, defisit kepercayaan sering kali lebih berbahaya daripada defisit anggaran,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi