Oleh Yarifai Mappeaty,
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
SEMESTER pertama 2025, produksi beras nasional melonjak secara signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa produksi mencapai 18, 76 juta ton, meningkat 1,89 juta ton dari pencapaian pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Tentu pencapaian itu harus disyukuri, dan kinerja pemerintah, khususnya Kementan, patut mendapat apresiasi. Namun sayang sebab pada saat yang sama, timbul kondisi paradoks. Bahkan ada yang menyebutnya semacam anomali karena harga beras ditingkat konsumen melonjak.
Buktinya, harga beras medium sekitar Rp 14.000/Kg. Sedangkan beras premium dari berbagai merek berkisar antara Rp. 15.000 – 16.000/Kg. Hal ini, setidaknya ditemukan Penulis di salah satu pasar di Kota Makassar, Jum’at, 04 Juli 2025. Tentu saja harga itu jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.
Fenomena terjadinya lonjakan harga di tengah situasi produksi beras yang disebut melimpah, pada gilirannya tentu mengusik banyak pihak, terutama para penganut teori supply and demand. Malah ada yang secara ekstrim meminta data produksi beras nasional dikoreksi, mungkin karena dinilainya tidak wajar.
Hanya saja, menilai data produksi tersebut tidak wajar, tampaknya juga tidak punya cukup alasan, dan terkesan tendensius. Terhadap hal ini, Penulis justeru melihat sebaliknya, dan menilai data produksi itu wajar, berdasarkan data panen dan produksi gabah pada semester pertama 2025.
Perlu dicatat bahwa sepanjang Januari – Juni 2025, terjadi panen raya serentak di daerah-daerah sentra produksi. Luas panen mencapai 6,22 juta hektar. Sederhananya, jika gabah yang dihasikan rata-rata 5,5 ton per hektar saja, maka total produksi gabah mencapai 31,1 juta ton. Jika rendemennya 53%, maka beras yang dapat dihasilkan mencapai 18 juta ton.
Anggap saja penilaian Penulis salah dan tidak pernah terjadi panen raya serentak. Maka konsekuensi logisnya, mau tak mau, kita mesti melakukan import beras secara besar-besaran sebagai satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan domestik. Tapi faktanya tak begitu. Benar ada import di awal tahun 2025, tetapi jumlahnya relative kecil.
CNBC Indonesia pada 17 Maret 2025 mencatat bahwa import beras hanya terjadi pada pada Januari – Pebruari 2025 dengan total volume 95,94 ribu ton. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2024, import beras mengalami penurunan sebesar 89,11%.
Selain itu, updating neraca pangan strategis nasional yang dilakukan oleh Badan Pangan Nasional (BPN), mencatat konsumsi beras sepanjang Januari – Juni 2025 sebesar 15,43 juta ton, sehingga terdapat surplus sebesar 3,33 juta. Oleh karena itu, Penulis sependapat bahwa lonjakan harga beras seperti saat ini, bukan karena terjadinya kelangkaan beras.
Lagi pula, jika produksi beras nasional dicurigai rendah dan tidak juga dilakukan import, maka apa yang terjadi dalam enam bulan terakhir? Di mana-mana pasti terjadi kekurangan beras dan timbul gejolak di masyarakat. Tetapi faktanya, tak ada gejolak sosial. Hanya memang, harganya mahal, itu keluhan masyarakat.
Lalu, apa yang membuat harga beras saat ini melonjak? Dalam kasus ini, lonjakan harga tampaknya tak selalu mengikuti kaidah supply and demand yang terjadi secara alamiah. Tetapi juga bisa terjadi karena rekayasa yang dilakukan pada jalur distribusi dan tata niaga. Apa itu mungkin?
Bayangkan, kira-kira apa yang terjadi jika para penguasa jalur distribusi dan tata niaga beras bersepakat menahan stock atau mengurangi pasokan ke pasar? Maka akan terjadi kelangkaan semu. Hal ini, pada gilirannya memicu terjadinya gejolak harga yang seolah-olah mengikuti kaidah supply and demand.
Rekayasa juga dapat dilakukan pada data laporan stock beras, seperti yang ditemukan sendiri oleh Mentan Andi Amran Sulaeman dalam kunjungannya di Pasar Induk Cipinang. Di sana, Ia mendapatkan data pasokan beras pada Mei 2025, nyaris selalu kurang dari pada pengeluaran (permintaan). Hal ini menggambarkan pasokan selalu minus.
Namun yang membuat Mentan Amran berang tatkala menemukan data yang menurutnya tidak masuk akal. Ada hari di mana volume pengeluaran enam kali lipat lebih besar dari pada volume pasokan. Pertanyaannya, kapan ada hari jumlah orang di Jakarta bertambah enam kali lipat?
Hingga di sini, patut diduga bahwa lonjakan harga yang terjadi memang karena hasil rekayasa, bertujuan untuk memberi kesan seolah-olah terjadi kelangkaan beras. Motifnya pun dapat dengan mudah dibaca, yaitu, agar pemerintah kembali membuka kran import.
Lantas, siapa kira-kira yang sedang bermain? Adalah mereka yang merasa sakit gigi tatkala kran import ditutup rapat lantaran produksi dalam negeri melimpah. Mereka yang bertahun-tahun menguasai jalur distribusi dan tata niaga.
Oleh karena itu, untuk menstabilkan harga beras, Satgas Pangan harus mau menyelidiki kelakuan para pemain di jalur distribusi dan tata niaga. ***

















