Jakarta, Aktual.com – Pemerintah diminta mewaspadai peningkatan jumlah pekerja terselubung di Indonesia karena pada jangka menengah dan panjang akan membebani keuangan negara.
“Dalam perhitungan angka pengangguran Badan Pusat Statistik (BPS), para pekerja terselubung itu tidak pernah terpantau, sebab BPS hanya mencatat pengangguran terbuka yang besarnya hanya sekitar 5,5 persen. Padahal para penganggur terselubung bisa mencapai 30-40 persen,” ujar Pengamat Kependudukan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sukamdi dalam diskusi Policy Corner, di Yogyakarta, Jumat (23/9).
Menurut dia, pengangguran terselubung artinya orang yang sebenarnya tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan periodik yang tetap. Namun mempunyai kesibukan yang sama, bahkan terkadang jauh lebih sibuk, dibanding orang yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap. Pekerjaan dan penghasilan penganggur terselubung bersifat musiman dan tidak menentu.
“Jadi secara sepintas masyarakat tidak tahu kalau orang itu adalah pengangguran, contohnya, calo tiket untuk transportasi apapun. Padahal, tanpa adanya penghasilan yang pasti setiap bulannya, maka kebutuhan hidupnya akan menjadi beban keluarga, dan jika terakumulasi akan menjadi beban masyarakat dan pada akhirnya menjadi beban negara,” papar Sukamdi.
Ia menambahkan, pengangguran terselubung juga bisa terdeteksi dari banyaknya jumlah pekerja dalam suatu perusahaan atau instansi, namun tingkat produktifitas pekerja yang sangat rendah.
“Ada pekerjaan yang sebenarnya sangat bisa dikerjakan oleh satu hingga dua orang, namun dikerjakan oleh hingga puluhan orang. Akibatnya, anggaran biaya rutin tetap tinggi dengan produktifitas rendah. Dan biasanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) banyak yang menjalankan praktik pengangguran terselubung begini,” terang dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka