Jakarta, aktual.com – Dana Desa yang diberikan pemerintah pusat kepada desa sudah mulai menunjukkan hasilnya seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat, kata guru besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Sadu Wasistiono.
“Dengan adanya Dana Desa, sudah mulai kelihatan bergerak roda perekonomian di desa. Tidak lagi mengandalkan sepenuhnya pada kota,” ujar Sadu dalam acara bedah buku “Pemerintah Desa, Nagari, Gampong, Marga dan Sejenisnya: Pemerintahan tidak Langsung Warisan Kolonial yang Inkonstitusional” karya Prof Hanif Nurcholis di Kampus Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/12).
Sadu menambahkan pada era 1960-an pembangunan desa dilakukan dengan pola dari atas ke bawah, dari pemerintah ke masyarakat. Namun hasilnya tidak memiliki dampak signifikan bagi masyarakat desa.
Kemudian, pola tersebut diubah melalui UU 6/2014 tentang Desa, yang mana pembangunan di desa tidak lagi mengandalkan pemerintah pusat. Pembangunan dilakukan melalui pola dari bawah ke atas, dari masyarakat ke pemerintah.
“Polanya diubah dengan pembangunan komunitas, desa membangun. Intinya desa menjadi subjek pembangunan. Ini sudah lima tahun adanya Dana Desa, hasilnya sudah mulai kelihatan dengan cepat,” ujar dia.
Ke depan, katanya, pola pembangunan seperti itu harus terus dilanjutkan. Hal itu dikarenakan masyarakat ataupun komunitas memiliki peran sentral dalam pembangunan.
Sadu menyebut Jepang saat ini sudah meluncurkan “Society 5.0” atau masyarakat yang berbasiskan digital.
Buku karya Prof Dr Hanif Nurcholis MSi yang merupakan guru besar di Universitas Terbuka itu menarasikan pemikirannya tentang kondisi yang ada di desa. Tujuannya agar dapat memberi contoh bagaimana upaya dalam memberikan layanan publik pada masyarakat, yang pada akhirnya dapat menyejahterakan masyarakat.
Buku tersebut terdiri dari 11 bab. Dalam buku itu, Hanif menyampaikan pemerintah desa, nagari, gampong, marga dan sejenisnya yang ada saat ini yang dianggap sebagai pemerintahan tidak langsung bentukan kolonial. Bentuk ini bukan bentukan masyarakat desa sendiri.
“Saat ini yang menjalankan roda pemerintahan di desa bukan pemerintahan adat, melainkan korporasi sosial-politik yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian desa atau apapun namanya bukan kesatuan masyarakat hukum adat maupun bukan lembaga hibrid, akan tetapi pemerintahan semu,” kata Hanif. (Eko Priyanto)
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin