Jakarta, aktual.com – Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Protection of Forest & Fauna (Profauna) mendesak pemerintahan baru Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin untuk lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa. Komitment dan spirit pemerintahan sebelumnya dimulai dari Era Soeharto yang menelurkan Keputusan Presiden (Keppres) No 4 Tahun 1993 perlu dilanjutkan dengan upaya konkret yang faktual saat ini.
Chairman Profauna Rosek Nursahid menjelaskan permasalahan perlindungan satwa memang terus berkembang dan makin membutuhkan perhatian khusus. “Lihat saja perburuan, penangkapan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi makin masif. Ini mengancam ekosistem flora dan fauna yang menjadi perhatian global,” katanya, Jumat (15/11).
Menurut dia, isu-isu perburuan dan perdagangan satwa makin menunjukkan kondisi yang sudah kritis. “Ambil contoh satwa burung, beberapa jenis tertentu hampir punah karena kurangnya perhatian dari pemerintah,” tegasnya.
Sebenarnya, lanjut dia, komitmen pemerintah dalam melindungi satwa sudah menjadi perhatian khusus di zaman Presiden Soeharto. Di era Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Dalam keppres itu disebutkan tiga satwa yang dinyatakan sebagai satwa nasional yakni Komodo, Ikan Siluk Merah, dan Elang Jawa. Juga, dalam keppres tersebut dinyatakan bunga nasional yakni Melati, Anggrek Bulan, dan Padma Raksasa (Rafflesia Arnoldi).
Keppres yang ditetapkan tanggal 9 Januari 1993 dan ditandatangani langsung Oleh Soeharto itu memiliki andil besar membawa nama satwa Komodo dan bunga Rafflesia Arnoldi hingga terkenal seperti sekarang. “Seiring perkembangan zaman, tantangan untuk melindungi satwa dan fauna juga bergeser,” paparnya.
Rosek menilai jika dahulu tantangan di era Orba adalah regulasi, sekarang di zaman ini tantangannya berupa implementasi penegakan hukum di lapangan. “Banyak kasus yang disidangkan di pengadilan justru dijerat dengan hukuman minimal. Hal ini karena aturan kita mengatur hukuman maksimal, sehingga faktanya berbeda di lapangan,” ujarnya.
Karena itu, Rosek mendesak, pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi dan KH Ma’ruf Amin serta kalangan DPR yang baru dapat membuat regulasi baru yang mengatur hukuman minimal.
Bertepatan dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang biasa diperingati pada 5 November, Profauna mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa. “Kami dari Profauna mendesak adanya regulasi tentang hukuman minimal 2 tahun untuk orang yang terbukti melakukan perburuan, penangkapan, serta perdagangan satwa yang dilindungi,” tegasnya.
Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan di era Orde Baru, juga pernah mengisahkan perlakuan penguasa terhadap binatang. Emil mengungkapkan kisah tentang Soeharto dan penggiringan kawanan gajah agar masuk kembali ke dalam hutan. Emil Salim menuliskan kisah itu dalam buku “Pak Harto The Untold Stories” terbitan Gramedia, tahun 2012 silam.
Emil Salim menceritakan peristiwa itu terjadi saat dia menjadi menteri yang mengawasi dan melestarikan alam. Tiba-tiba dia mendapatkan telepon dari Palembang. Isi telepon tersebut menyatakan, para tentara yang ada di sana sedang bersiap-siap hendak menembak rombongan gajah yang “mengamuk”. Kawanan gajah tersebut merusak kebun-kebun dari sebuah desa transmigrasi yang baru saja didirikan. Mendapatkan laporan itu, Emil lantas mempelajarinya.
Ternyata gajah-gajah yang hidup di hutan pedalaman Sumatera itu memang memiliki ritual, yaitu pergi ke laut setahun sekali untuk memperoleh garam. Jalan yang harus mereka lalui selalu sama. Sayangnya, jalan tersebut belakangan digunakan untuk membuat kebun, dan hal itu tidak diketahui oleh Dinas Transmigrasi saat itu. Penduduk yang ketakutan itu kemudian meminta bantuan para tentara.
Emil Salim segera melaporkan peristiwa itu kepada Presiden Soeharto dan Panglima ABRI saat itu Jenderal TNI Try Sutrisno. Pak Harto tegas melarang para tentara menembaki gajah-gajah tersebut. Ia meminta para anggota TNI agar menggiring gajah masuk hutan lagi melalui jalan lain yang tak melintasi desa. “Pak Harto menyarankan digunakannya perangkat bunyi-bunyian seperti terompet, kayu yang dipukul-pukul, kentongan dan sebagainya untuk menggiring gajah,” ujar Emil Salim.
Para anggota TNI segera melaksanakannya. Saran itu ternyata membuahkan hasil. Gajah-gajah itu bisa kembali hutan. Saat gajah-gajah itu mendekati habitatnya, para anggota TNI yang mengawalnya sampai menitikkan air matanya.
Gajah-gajah itu berjalan dalam formasi. Gajah-gajah betina berjalan di depan dan di belakang, anak-anak gajah berjalan terlindung di tengah-tengah rombongan. “Gajah-gajah jantan dewasa berjalan mondar-mandir ke depan dan ke belakang untuk mengawal seluruh rombongan mereka,” lanjut Emil Salim.
Presiden Soeharto pun tampak senang mendapatkan kabar itu lantas mengundang para tentara tersebut ke Bina Graha. “Pak Harto menyalami mereka satu persatu, termasuk yang pangkatnya terendah sekali pun, mengucapkan langsung terima kasihnya untuk tugas yang tak biasa itu,” tandas Emil Salim.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin