Semarang, Aktual.com — Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mempertanyakan ketidaktaatan pemerintah dan DPR RI terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016.
Sesuai dengan keputusan rapat pimpinan Badan Legislasi (Baleg) pada tanggal 20 Agustus 2015, DPR (dalam hal ini Baleg) menargetkan penetapan prolegnas prioritas sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang APBN 2016 menjadi UU, kata Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri melalui pesan singkatnya kepada Antara, di Semarang, Minggu (1/11).
Target itu, kata Ronald, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa penyusunan dan penetapan prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, kata dia, hingga RUU APBN 2016 disahkan pada hari Jumat (30/10), Baleg belum menggelar rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM dan Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
“Artinya, pada masa sidang lalu, Prolegnas Prioritas 2016 tidak kesampaian ditetapkan sebelum RUU APBN disahkan. Sebuah upaya penjadwalan dari Baleg yang belum memenuhi rencana semula,” katanya.
Sekalipun target waktu penetapan Prolegnas Prioritas 2016 tidak sesuai dengan rencana semula, menurut dia, Baleg tetap berupaya menggenjot percepatan penyelesaian target Prolegnas Prioritas 2015.
Tatib DPR Pada tanggal 20 Oktober 2015, lanjut dia, DPR mengesahkan perubahan kedua Tata Tertib (Tatib) DPR RI. Titik tekan perubahan tersebut adalah memberikan kewenangan bagi Baleg untuk bisa menyusun RUU mengingat selama ini, khususnya melalui UU MD3, kewenangan Baleg menyusun RUU dihilangkan.
Ia berpendapat bahwa upaya itu sebenarnya belum bisa teruji hingga berakhirnya Prolegnas Prioritas 2015 karena kewenangan tersebut baru dimunculkan setelah DPR bekerja lebih dari setengah tahun.
“Yang jelas, alokasi maksimal dua RUU yang bisa diusulkan oleh setiap komisi, penetapan hari legislasi maupun pengurangan waktu reses belum memperlihatkan dampak signifikan terhadap penyelesaian target Prolegnas Prioritas 2016,” ujarnya.
Menurut Ronald, beban terbesar penyelesaian Prolegnas Prioritas 2015 ada pada DPR (dengan mengusulkan 27 RUU), sedangkan pemerintah sebanyak 11 RUU dan DPD satu RUU.
“Tentu saja pihak yang mengusulkan lebih banyak RUU harus punya strategi dan upaya ekstra. Meski demikian, semua pihak berkontribusi terhadap lemahnya kinerja legislasi, khususnya dalam menyelesaikan target Prolegnas Prioritas 2015,” ucapnya.
Ia menekankan, “Semua pihak seharusnya bisa konsisten dan disiplin memenuhi syarat keberadaan naskah akademik, naskah RUU, dan penyelesaian harmonisasi ketika menetapkan Prolegnas Prioritas 2015.” Namun, lanjut dia, yang terjadi malah penyelesaian naskah akademik, naskah RUU, dan harmonisasi masih berlangsung setelah melewati pertengahan 2015.
Dengan demikian, menurut Ronald, pemerintah dan DPR RI gagal memenuhi penetapan prolegnas prioritas tahun depan sebelum penetapan APBN 2016.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan