Banda Aceh, Aktual.com – Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem memahami kritik yang disampaikan Denny Siregar, seorang komentator dan buzzer yang sangat aktif dari rezim Joko Widodo (Jokowi), dalam acara Time Line Cokro TV, melalui tayangan videonya bertema: HORE, POLIGAMI BOLEH DI ACEH!

Diakui, penjelasan Denni Siregar melalui video tersebut, beberapa diantaranya merupakan potret dari realitas yang saat ini terjadi Aceh. Namun, kondisi serupa juga terjadi di sejumlah daerah atau provinsi di Indonesia.

Begitupun, pendapat Denni Siregar sangat tidak utuh dan komprehensif, cenderung provokatif dan tendensius sehingga mulai menimbulkan keresahan di tengah rakyat Aceh. Jelas terlihat, Denni Siregar tidak menguasai secara utuh regulasi serta kondisi nyata yang saat ini terjadi di Aceh. Paska terwujudnya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

Itu sebabnya, tanggapan dari Partai Aceh (PA), tidak dimaksudkan sebagai bentuk anti kritik yang disampaikan Denni Siregar. Sebaliknya, sebagai upaya untuk menjaga kondisi dan situasi damai yang sudah terwujud di Aceh. Dan, Partai Aceh ikut bertanggungjawab terhadap terjaganya situasi ini.

Misal, Denni Siregar menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh dan DPR Aceh telah mensahkan Qanun (Perda) Poligami di Aceh. Faktanya, peraturan tersebut masih dalam pembahasan di parlemen Aceh (DPRA). Artinya belum final dan mengikat.

Selain itu, Denni Siregar telah berpikir sesat dan menyesat akibat kebodohannya yaitu, yang sedang dibahas di DPR Aceh saat ini adalah Rancangan Qanun (Ragan) mengenai Hukum Keluarga yang terdiri dari 25 Bab dan 200 pasal. Nah, salah satu pasalnya adalah, mengatur tentang poligami. Jadi, bukan Qanun Poligami semata.

Atas berbagai propaganda murahan itu, DPA Partai Aceh dengan ini menyatakan bahwa:

Pertama, pernyataan Denny Siregar, seorang komentator dan buzzer yang sangat aktif dari rezim Jokowi, dalam acara Time Line Cokro TV-yang merupakan channel khusus tempat ia menyebarkan ide ide penyesatan ke berbagai media dan telah merendahkan orang Aceh.

Kedua, dalam acara Time Line tersebut yang disiarkan tanggal 13 Juli 2019, Denny Siregar memberikan komentar tentang rencana penerapan hukum keluarga mengenai poligami di Aceh.
Secara keseluruhan pendapat ini Siregar di dalam acara Time Line Cokro tv tersebut sangat menyudutkan rakyat Aceh yang di-framing sebagai orang yang jago beralasan untuk menerapkan sebuah kebijakan yang dipandangnya sebagai kebijakan negatif.

Ketiga, dia sering ungkapkan tentang Aceh pasca MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki 2005 adalah Aceh yang penuh dengan gambaran mabuk, judi dan mesum yang sering muncul di berbagai media. Dia juga menyatakan tentang situasi Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera yang dipandangnya sebagai sebuah prestasi negatif. Denny Siregar tidak pernah tahu bahwa banyak pasal-pasal kesepakatan MoU Helsinki yang tidak diratifikasi secara legowo oleh pemerintah pusat di Jakarta ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Keempat
Sikap Jakarta yang tidak ikhlas memberikan janji-janji yang sudah diucapkan para delegasinya di Helsinki berakibat pada situasi Aceh yang semakin memburuk.
Dia juga menyitir kenyataan tentang maraknya korupsi yang dilakukan para pejabat di Aceh dan ia menyayangkan kenapa Aceh tidak memberlakukan hukum potong tangan terhadap para koruptor.

Kelima
Denny Siregar tidak tahu bahwa penerapan hukum Syariat Islam di Aceh adalah sebuah bargain politik. Aceh bukannya tidak mempersiapkan tentang hukum potong tangan korupsi dan hukum hukum jinayat lainnya terutama hukum pidana Islam yang sudah di putuskan, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Aceh sudah memutuskan hukum tentang penalti potong tangan bagi pelaku korupsi.

Namun kembali Jakarta mengintervensi dan cawe-cawe agar hukum ini tidak berlaku di Aceh. Bukan rahasia umum lagi banyak aktivis anti syariat Islam yang disokong Jakarta dengan berbagai modal sosialnya yang berlimpah. Sementara Aceh dibiarkan terpuruk dan semakin dijerumuskan dalam lembah hina kebodohan dan keterbelakangan.

Keenam, yang lebih menyakitkan lagi adalah pendapat Denny Siregar tentang khilafah Islam yang seakan akan hanya berurusan dengan persoalan persoalan-pembagian jatah bagi para pejabat untuk mendapatkan berapa jumlah istri.

Pendapat atau komentar Denny Siregar ini sangat tendensius dan miring dengan framing yang negatif tentang sistem khilafah Islam yang sebenarnya adalah sebuah sistem nomokrasi yang sangat berbeda dengan sistem demokrasi sebagaimana berlaku di Indonesia selama ini.

Ketujuh, Rakyat Aceh sangat tersinggung dengan komentar Denny Siregar yang sangat miring dalam menilai orang Aceh dan menghina hukum syariat Islam serta menghina sistem nomokrasi Islam.

Denny Siregar hanya tahu bahwa sistem yang terbaik adalah demokrasi-yang sebenarnya sangat mudah untuk dimanipulasi dan dicurangi dalam setiap proses pentahapan pemilihan maupun proses referendum yang seringkali tidak diberikan terhadap wilayah-wilayah atau daerah-daerah tertentu yang ingin berdiri sendiri.

Di seluruh dunia, demokrasi bersikap tidak adil tentang referendum. Padahal secara teoritis, referendum adalah proses demokratik untuk determinasi politik.

Sistem demokrasi sudah tidak mampu lagi untuk mendukung dan menyokong Republik Indonesia yang sudah sangat sarat dengan berbagai persoalan. Indonesia dari semenjak Soekarno di masa Orde Lama, kemudian di era Soeharto di masa Orde Baru hingga masa sekarang di era reformasi, terus menerus mengalami krisis multidimensi. Tidak ada satu pemimpin pun yang mampu untuk mengatasi krisis multidimensi ini atau setidaknya menyetop krisis ini atau minimal menguranginya.

Kedelapan, Aceh sebagai wilayah modal yang menjadi bagian dari Indonesia harus menghadapi situasi memburuk yang multikrisis terus-menerus terjadi di negeri yang mayoritas umat Islam ini.

Keinginan Aceh untuk menerapkan sistem hukum tersendiri yang sesuai dengan sejarah dan tradisi yang telah lama hidup di dalam masyarakat secara bergenerasi, selalu saja dihalang-halangi oleh pemerintah pusat dengan berbagai alasan dan permainan politik.

Kesembilan, pada dasarnya pemerintah pusat yang berada di Jakarta tidak pernah rela terhadap rakyat Aceh yang ingin menerapkan tradisi dan hukum organiknya sendiri secara independen. Pemerintahan atau rezim Jokowi sekarang ini adalah pemerintahan yang sangat sekuler dan tidak mempedulikan karakteristik rakyat Aceh yang sangat relijius.

Rezim Jokowi seakan tidak punya imajinasi tentang bagaimana cara berfikir orang Aceh dalam kerangku pluralism hukum ini.

Kesepuluh, komentar singkat yang diberikan Denny Siregar dalam acara Time Line tersebut akan terus diingat rakyat Aceh: bahwa orang orang di luar Aceh khususnya yang ada di dalam pemerintahan yang sekuler sekarang ini, cenderung tidak punya imajinasi tentang bagaimana sistem hukum nomokrasi yang sudah dipraktekkan oleh orang-orang Aceh selama berabad-abad.

Jauh hari sebelum republik Indonesia ini lahir, rakyat Aceh telah memiliki sistem pemerintahan tersendiri dengan struktur yang lebih lengkap ketimbang struktur pemerintahan demokrasi.

Kesebelas, Ketua Umum, Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh Muzakir Manaf dengan tegas, meminta kepada saudara Denni Siregar untuk mengklarifikasi dan mencabut komentarnya tersebut. Jika tidak, DPA Partai Aceh meminta kepada DPR Aceh dan Pemerintah Aceh, untuk menempuh langkah-langkah berikutnya, termasuk menggugat secara hukum. Alasannya, Denni Siregar telah melakukan propaganda dengan tujuan menebar kebencian serta membunuh karakter rakyat, ulama, DPR Aceh dan Pemerintah Aceh di mata rakyat Indonesia dan dunia.

Keduabelas, meminta kepada seluruh kader, anggota dan simpatisan Partai Aceh dimana pun berada, termasuk di Jakarta untuk tenang, tidak terpancing dan terprovokasi dengan komentar tersebut, sehingga melakukan hal-hal yang tidak diinginkan dan melanggar hukum.

Demikian, wassalam.

Muhammad Saleh
Juru Bicara Partai Aceh

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan