Jakarta, Aktual.com – Koalisi masyarakat sipil mendesak agar negara-negara berkembang tidak menyepakati proposal baru mengenai isu Fasilitasi Investasi untuk pembangunan (Investment Facilitation for development) di dalam perundingan KTM ke-11 WTO.

Isu investasi di WTO yang disebut sebagai “Isu Baru” atau seringkali juga disebut “Isu Singapura” sejak 1996 ditolak oleh negara berkembang dan negara kurang berkembang (LDCs) dengan alasan investasi asing bukan perdagangan, jadi aturannya tidak bisa diatur dalam WTO.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa upaya yang jelas dari Negara maju untuk merundingkan isu investasi dicoba kembali di KTM WTO di Cancun Meksiko tahun 2003, dan gagal mencapai konsensus karena sebagaian besar negara menolak.

“Desakan untuk memasukan kembali isu investasi dalam perundingan WTO juga menjadi rekomendasi negara-negara maju dalam mengatasi tren proteksionisme global dalam perdagangan dan investasi pada saat pertemuan G20 Summit di Hamburg, Jerman, Juli 2017 yang lalu. Dan KTM ke 11 WTO menjadi momentumnya,” kata Rachmi secara tertulis, Rabu (13/12)

Peneliti Third World Network, Lutfiyah Hanim, berpendapat bahwa usulan perjanjian investasi, dengan berbagai cara, didasari atas anggapan bahwa keberadaan perjanjian investasi akan meningkatkan arus investasi. Sementara, laporan UNCTAD di tahun 2014, menyebutkan bahwa hasil tidak mendukung hipotesis bahwa perjanjian investasi bilateral akan mendorong investasi bilateral, sehingga pemerintah negara berkembang seharusnya tidak berasumsi bahwa menandatangani perjanjian investasi bilateral akan mendorong FDI.

Selain, itu studi Bank Dunia 2011, menemukan bahwa ‘ukuran dan besar potensi pasar’ adalah penentu utama dalam menarik FDI dan bukan adanya perjanjian investasi. Sebagai contoh, Brazil,tidak memiliki Perjanjian Investasi Bilateral, namun Brazil adalah penerima kelima terbesar FDI di dunia pada tahun 2013.

Isu fasilitasi investasi ini tidak hanya berbicara tentang kegiatan fasilitasi yang bersifat administrasi, tetapi juga akan mengatur mengenai aspek perlindungan terhadap investor asing di dalamnya. Sebagian besar aturannya akan mengadopsi isu Bilateral Investment Treaty (BIT) yang sangat kontroversial dengan mekanisme penyelesaian sengketa investasi di mana investor asing bisa menggugat negara di lembaga arbitrase internasional.

“Indonesia sudah punya banyak pengalaman digugat oleh investor asing melalui BIT dengan nilai gugatan hingga milyaran dollar. Sehingga isu investment facilitation di WTO hanya akan menguntungkan negara pengekspor investasi ketimbang penerima investasi seperti Indonesia” tutup Rachmi.

Sebagai informasi, saat ini, masih berlangsung perundingan KTM ke-11 WTO di Buenos Aires, Argentina. Pertemuan yang dibuka tanggal 10 Desember lalu, diperkirakan akan selesai molor dari waktu yang dijadwalkan tanggal 13 Desember waktu setempat. Semakin banyak proposal negara maju yang didesakan tetapi proposal negara berkembang dan agenda Doha tetap mengalami kemandekan. WTO yang disahkan tahun 1995, saat ini mempunyai 164 negara anggota.

(Reporter: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka