Jakarta, Aktual.com – Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan kebijakan institusinya menunda proses hukum peserta pilkada pada tahun ini merupakan bentuk menghargai proses demokrasi yang berjalan dalam memilih pemimpin di daerah.
“Sikap menunda penegakan hukum proses pemilihan calon tersangkut kasus hukum adalah menghargai proses demokrasi,” kata M. Prasetyo dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/3).
Ia menjelaskan bahwa kebijakan menunda proses hukum peserta pilkada tersebut bukan berarti pengusutan kasus hukum tersebut dihentikan. Namun, kejaksaan ingin memastikan pelaksanaan pilkada berjalan baik dan lancar.
“Adanya UU yang tidak memungkinkan calon mundur dan adanya ancaman hukuman bagi calon yang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah,” ujarnya.
Selain itu, dia menilai tidak berlebih apabila setiap pelaksanaan pemilu maupun pilkada akan dijadikan ajang untuk unjuk kekuatan seluruh elemen politik, baik di daerah maupun di tingkat nasional.
Menurut dia, pilkada tidak sekadar arena konstestasi adu program, ide, dan gagasan, tetapi sebagai ajang untuk merebut kepemimpinan nasional.
“Pilkada 2018 digelar di daerah lumbung suara, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, yaitu 48 persen suara nasional sehingga kemenangan akan dimaknai parpol sebagai kemenangan psikologis,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa hampir di setiap demokrasi elektoral melibatkan massa pemilih diduga terjadi praktik politik uang sehingga butuh biaya politik tinggi.
Hal itu, menurut dia, memperkuat kesimpulan bahwa hanya peserta pilkada yang memiliki sumber dana besar yang bisa ikut kontestasi dalam pemilihan tersebut.
Menurut dia, untuk menyikapi hal tersebut pada tanggal 6 Maret 2018 ditandatangani perjanjian kerja sama antara institusinya, KPK, dan Polri dalam penanganan tindak pidana korupsi meliputi pertukaran dan sinergi data penanganan korupsi pada pilkada.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara