Merauke, Aktual.com – Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Watipo mengatakan pemerintah masih mencari Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merupakan Orang Asli Papua (OAP) untuk mengisi kuota ASN di tiga Daerah Otonom Baru (DOB).
“Terkait pengisian pejabat ASN di 3 DOB baru, saya sampaikan 80 persen memang harus orang asli daerah, tidak ada dari pusat karena banyak putra-putri daerah memenuhi syarat, namun tidak banyak juga yang mendaftar,” kata John Wempi di Merauke, Papua Selatan pada Rabu (30/11).
John Wempi menyampaikan hal tersebut saat mendampingi Wakil Presiden Ma’ruf Amin melakukan audiensi bersama dengan Pj Gubernur Papua Selatan Apolo Safanpo, Anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) provinsi Papua Selatan, Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Merauke, tokoh agama salah satunya Uskup Agung Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi, serta tokoh masyarakat Merauke termasuk mantan Bupati Merauke Marine John Gluba Gebse.
“Karena 1 provinsi butuh 1.056 ASN, tapi di Papua Selatan baru terisi 900 ASN dari kebutuhan 1.056 sehingga diharapkan bisa segera terisi karena pegawai masih banyak di provinsi induk kurang lebih 11 ribu. Saya berharap bapak ibu membuka diri untuk menerima saudara-saudara dari provinsi induk untuk mengambil peran dalam pengisian jabatan dan penyelenggaraan pemerintahan di 3 DOB,” imbuh John Wempi.
Dalam pasal 14 ayat 4 UU DOB disebutkan “Aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja OAP yang karena tugas dan kemampuannya diperlukan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua Selatan.” Sementara dalam penjelasan ayat 4 disebutkan “Pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja OAP paling banyak 80 persen.
Menurut John Wempi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertugas untuk mengawal penyelenggaraan pemerintahan di tiga DOB baru yaitu untuk meletakkan fondasi awal yang kuat.
“Terkait infrastruktur jadi tugas pemerintah pusat yaitu untuk membangun kantor gubernur, kantor MRP (Majelis Rakyat Papua), kantor DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) dan kantor OPD (organisasi perangkat daerah) jadi tanggung jawab pemerintahan pusat mulai 2023-2025 karena memang tugas pemerintah pusat untuk mengambil alih pembangunan infrastruktur,” ungkap John Wempi.
Artinya dalam tiga tahun ke depan, pemerintah pusat secara khusus Kemendagri akan mengawal proses pemerintahan di tiga DOB sampai adanya gubernur definitif berdasarkan pemilu dan pilkada serentak pada 2024.
“Dari hasil diskusi kami, Papua Selatan nanti akan membentuk MRP sendiri karena MRP saat ini berakhir 20 November lalu dan Majelis Rakyat Papua Barat berakhir 21 November kemarin, sehingga kita ambil kebijakan untuk diperpanjang sampai Juni 2023 dan Pj Gubernur akan membentuk panitia seleksi untuk MRP sehingga bisa berjalan dalam pemilu serentak 2024,” jelas John Wempi.
Salah satu tokoh masyarakat Papua Selatan, John Gluba Gebse, dalam diskusi tersebut mengatakan, percepatan pembangunan di Papua dapat terjadi bila ada kompetisi antarprovinsi di pulau tersebut.
“Sudah ada 6 atau 7 provinsi, dengan dana otsus (otonomi khusus), kita selenggarakan kompetisi dengan seluruh provinsi karena dengan kompetisi, percepatan akan terjadi. Semua provinsi akan jaga marwah provinsi nya supaya tidak sibuk berkelahi, tapi sibuk bangun Papua raya. Kami minta supaya ada satu desain kompetisi provinsi di Papua,” kata John Gluba Gebse.
Gebse juga meminta adanya peningkatan status dua lembaga di Papua Selatan yaitu Pangkalan Udara (Lanud) Merauke dari tipe B naik jadi tipe A dan Polres Merauke naik menjadi Polda.
“Lanud Merauke karena mengawal matra udara RI perbatasan dua negara dan juga peningkatan status Polres Merauke karena saat ini sudah jadi provinsi (Papua Selatan),” ungkapnya.
Gebse juga meminta agar aturan ASN yang berasal dari Orang Asli Papua (OAP) benar-benar dilaksanakan.
“Beri ruang untuk warga Indonesia asal Papua Selatan tumbuh dan berkembang. Ruang 80 persen (ASN dari OAP) kita kawal baik-baik dan malah bukan berujung jadi arena kekecewaan karena 80 persen aturan tidak direalisasikan. Ruang yang kami minta jangan sampai diisi pejabat dari tempat lain, biarlah kami belajar ber-Indonesia, belajar bertanggung jawab,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Warto'i