Jakarta, Aktual.com – Proyek pembangunan 65 Bendungan di sejumlah wilayah di Indonesia bisa berdampak buruk bagi kehidupan sosial-budaya dan ekonomi masyarakat serta kelestarian lingkungan. Proyek akan menggusur warga dari tempat tinggal mereka, membuat mereka kehilangan mata pencaharian, mencerabut mereka dari lingkungan sosial-budaya, dan berpotensi merusak ekosistem sungai, baik di hulu maupun hilir. Kebijakan pembangunan 65 bendungan juga melawan kecenderungan di sejumlah negara di Amerika, Eropa, dan Asia yang justru mulai merekayasa ulang dan bahkan menghancurkan bendungan.
Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari 29 bendungan yang pembangunannya direncanakan selesai pada 2019 dalam Rencana Strategis 2015-2019 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, hanya tujuh bendungan yang pembangunannya telah dirampungkan per akhir November 2017. Penelusuran pada Database Pusat Bendungan juga mendapati kenyataan yang sama.
Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Barisan Pemeriksa Kondisi Proyek (BPKP) mendesak pemerintah mencari solusi atas persoalan yang terjadi saat ini, termasuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama mereka yang terdampak oleh proyek.
“Mewakili masyarakat, kami mengkhawatirkan melesetnya target proyek bisa membuat pelaksana proyek bekerja memburu tenggat. Akibatnya, pekerjaan berpotensi menjadi tak optimal, mengurangi manfaat proyek, memperpendek usia operasi bendungan, dan bahkan berisiko memicu kegagalan struktur pada bangunan,” tegas Ketua Presidium BPKP (Barisan Pemeriksa Kondisi Proyek), Rusmin Effendy, di Jakarta, Kamis (14/2).
Berdasarkan observasi lapangan BPKP atas proyek Bendungan Ciawi di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, menemukan keresahan warga di sekitar lokasi proyek. Mereka resah karena 270 keluarga yang tanahnya masuk area proyek belum menerima
kompensasi. “Mereka juga cemas Bendungan Ciawi tak cukup efektif menampung banjir yang biasanya mengalir ke Jakarta. Ini karena curah hujan ekstrem tiap awal tahun di kawasan itu dan potensi tingginya sedimentasi akibat kontur tanah rawan lonsor sementara tinggi bendungan hanya 55 meter,” papar Rusmin.
Terkait dengan kelanjutan proyek, BPKP ingin menyampaikan beberapa poin antara lain, mendesak Pemerintah untuk meninjau ulang dan mengkaji proyek 65 bendungan meskipun proyek ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional oleh Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017.
“Meminta Pemerintah untuk tidak mengejar tenggat penyelesaian proyek, terlebih jika percepatan bertujuan semata politik elektoral pada 2019. Pemerintah juga harus memastikan setiap proyek bendungan disosialisasikan kepada masyarakat, terutama mereka yang terdampak oleh proyek. Sosialisasi harus melibatkan partisipasi aktif, terbuka, dan sejajar dari masyarakat, bukan sekadar formalitas pemenuhan syarat analisis dampak lingkungan,” jelasnya.
Menurutnya, Pemerintah harus mengkaji alternatif dari bendungan untuk memenuhi kebutuhan layanan irigasi, menyediakan air baku, dan mengendalikan banjir, mengingat dampak sosial dan lingkungan yang bisa diakibatkan oleh suatu bendungan. Alternatif itu harus lebih dulu dilakukan sebelum memutuskan untuk membangun bendungan, seperti mengatasi deforestasi dan degradasi daerah aliran sungai untuk mengendalikan banjir. Setiap proyek bendungan harus memenuhi syarat-syarat ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, seperti adanya analisis dampak lingkungan terbaru, persetujuan warga, dan kesesuaian dengan tata ruang dan wilayah. Jangan hanya kerena ini proyek strategis nasional, hal-hal tersebut diabaikan.
“Pemerintah harus memastikan bahwa operasi bendungan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem sungai, baik di hulu, bantaran, maupun hilir. Jika, operasi bendungan ternyata merusak ekosistem, Pemerintah harus siap untuk merekayasa ulang bendungan atau bahkan menghancurkannya,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin