Jakarta, Aktual.com — Dahulu saat di era pemerintahan SBY-JK, China sangat ekpansif dan aktif untuk mendapatkan proyek infrastrutur. Misalnya sebut saja proyek Listrik 10.000 megawatt yang didanai dari hasil pinjaman Bank Exim China dan direncanakan akan selesai hingga akhir pemerintahan SBY-JK selama 5 tahun.
Namun apa yang terjadi hingga SBY berakhir pemerintahanya bersama Boediono, proyek pembangkit listrik hasil proyek Fast Track Programme (FTP) tahap I, yang dicanangkan sebesar 10 ribu megawatt (MW) tersebut baru diselesaikan sekitar 8.500 MW. Sisanya diharapkan selesai 2016.
Namun, realiability (keandalan) proyek tersebut tidak maksimal, atau hanya mampu sekitar 55% hingga 60%. Akibatnya banyak pembangkit yang rusak tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh pemerintah China. Malah sialnya banyak pembangkit yang dibangun dari pembangkit yang second hand dari China serta syarat dengan mark up.
Akibatnya PLN dirugikan triliunan rupiah karena harus menggantikannya dengan genset-genset berbahan bakar minyak, serta utang pemerintah terhadap pemerintah China bertambah, yang akhirnya masyarakat juga turut dirugikan dengan harga tarif dasar listrik (TDL) yang setiap tahunnya terus naik.
Akibat TDL listrik yang tinggi yang dihasilkan oleh pembangkit yang dibangun oleh China, juga berakibat pada produk-produk yang dihasilkan oleh Industri di Indonesia tidak kompetitif dan pada akhirnya banyak pabrik dan Industri di Indonesia terpaksa ditutup dan dalam 10 tahun Indonesia mengarah pada deindustrialisasi, yang berimbas pada PHK buruh besar-besaran.
Tidak itu saja dari proyek FTP untuk bisa mencairkan dana pinjaman dari Bank Exim China untuk membangun Pembangkit Listrik, Indonesia dipaksa untuk membeli pesawat made in China MA 60 yang digunakan oleh Merpati Nusantara Airlines yang juga mutu dan realibility nya sangat buruk.
Sekarang semua pesawat sudah hampir jadi bangkai dan Merpati Airlines harus menanggung utang sebesar Rp2,7 triliun, dan utang tersebut sekarang ditanggung oleh pemerintah karena pemerintah waktu itu mengeluarkan Sovereign Guarantee berupa SLA (Subsidery Loan Agreement) walaupun katanya kerjasama pembelian pesawat MA 60 itu B to B alias tidak menggunakan APBN.
Nah pola-pola penawaran kerjasama pembangunan infrastrutur dari China sekalipun tidak mengunakan APBN yang manis di depan dan pahit di belakangnya harus menjadi sebuah pelajaran yang terbaik seharusnya bagi Jokowi untuk berpikir ulang dalam projek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang akan bernasib sama dengan proyek-proyek Pembangkit Listrik yang dibangun oleh China dan proyek pengadaan armada-armada Busway yang banyak rusak dan tidak handal serta sering terbakar.
Apalagi proyek KA Cepat ini sangat tidak ekonomis dan akan menambah utang luar negeri semakin bertumpuk yang akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah semakin terperosok, dan cadangan devisa akan tergerus, yang berakibat menciptakan dan menurunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga harga pangan dan consumer good yang masih bergantung pada impor.
Sudah biaya projeknya sangat mahal yaitu 5,5 miliar dolar AS dan diduga ada mark up untuk kepentingan mafia rent, bisa saja nanti material-material untuk pembangunan KA Cepat oleh China nanti bukan kualitas nomor satu, tetapi material second hand dari China.
Jadi kami mendesak agar Jokowi segera membatalkan proyek Kereta api Cepat, jangan sampai konsorsium BUMN-BUMN yang terlibat dalam KA cepat rugi besar dan harus tutup akibat tidak sanggup membayar utang biaya pembangunan KA Cepat Jakarta-Bandung.
Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu
Oleh : Arief Poyuono. SE
Wakil Ketua Umum DPP Gerindra
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan