Jakarta, Aktual.com — Pemerintah DKI Jakarta sedang melakukan “bunuh diri” ekologis karena menerapkan kebijakan, yang tidak memperhatikan keanekaragaman hayati.

Demikian yang disampaikan pengamat tata kota Nirwono Joga soal kebijakan normalisasi kali dengan betonisasi dan rencana proyek reklamasi, dengan membuat pulau di pantai utara Ibu Kota.

“Pembangunan di Jakarta tidak memperhatikan kepentingan adanya ruang terbuka hijau (RTH). Ini memicu bunuh diri ‘ekologis’,” ujar Joga saat berbincang usai sebuah acara diskusi di Jakarta, Jumat (13/11).

Pohon-pohon yang ditebang dengan asal-asalan, kata dia, akan berpengaruh pada ekosistem yang ada. Jika keseimbangan alam terganggu, dampaknya akan sangat dirasakan oleh manusia.

Orang-orang akan mudah sakit, biaya sehat semakin mahal, menjadi akibat jangka panjang kebijakan tidak prolingkungan. “Masyarakat tidak pernah ‘ribut’ ketika ada 1.000 pohon ditebang, tidak seperti saat harga BBM naik. Padahal fungsi pohon adalah untuk menyerap air dan menyediakan oksigen secara gratis. Bayangkan kalau kita harus beli oksigen untuk bernafas, sudah berapa biaya habis?” kata dia.

Ada pun DKI Jakarta sendiri menargetkan 30 persen RTH pada tahun 2030. Namun, menurut Joga, berdasarkan hasil penelitiannya, sampai tahun 2015, luas RTH untuk umum di ibu kota baru 9,97 persen.

Jika masih mempertahankan kebijakan yang seperti saat ini, dia yakin sampai kapan pun Jakarta tidak akan bisa memenuhi target RTH yang dicanangkan. Sebagai perbandingan, negara tertangga Indonesia, Singapura memiliki RTH seluas 56 persen dan ada 49 persen RTH di Kota Melbourne, Australia.

Padahal, kata Joga, Singapura pada awalnya meniru sistem kata kota di Jakarta, tepatnya saat perdana menteri pertama Singapura, Lee Kuan Yew tinggal di Menteng, Jakarta Pusat, sekitar tahun 1948.

“Lee Kuan Yew itu terinspirasi dari Menteng, yang di tahun itu menjadi kota dengan taman yang nyaman. Itulah yang menginspirasi dia dan menerapkannya di Singapura, sementara Jakarta justru meninggalkannya,” ujar dia.

RTH pun menjadi “bahan jualan” pemerintah Singapura dalam memasarkan wilayahnya kepada investor. Misalkan jika menawarkan properti, keunggulan yang ditonjolkan adalah kedekatannya dengan taman, “sky garden” dan kebun raya.

Kebijakan seperti ini, lanjut dia, tidak diterapkan di Jakarta dan pada umumnya kota-kota di Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu