Ketahanan Pangan dan Tantangan Tata Kelola

Johan menilai, selama ini ketahanan pangan terlalu sering dimaknai sebatas ketersediaan stok nasional. Padahal, di tingkat akar rumput, petani dan nelayan justru menghadapi biaya produksi yang tinggi, ketidakpastian iklim, serta fluktuasi harga yang merugikan.

“Ketika harga pangan naik, petani tidak selalu diuntungkan. Sebaliknya, masyarakat berpenghasilan rendah justru paling terdampak,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa ketergantungan pada impor pangan sebagai solusi jangka pendek berisiko melemahkan kedaulatan nasional, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik global.

Dalam konteks kelembagaan, Johan menyoroti pentingnya sinergi antarkementerian, khususnya setelah pemisahan urusan kehutanan dan lingkungan hidup.

Menurutnya, hutan harus diposisikan sebagai infrastruktur ekologis strategis yang menopang lingkungan dan pangan, bukan sekadar komoditas ekonomi. Tanpa koordinasi yang kuat, fragmentasi kebijakan justru akan memperparah krisis.

Ia juga menekankan perlunya perubahan paradigma dalam kebijakan pertanian. “Produktivitas tidak bisa dilepaskan dari kesehatan ekosistem. Pertanian masa depan harus menjadi bagian dari strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” katanya.

Johan mengingatkan bahwa amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, menempatkan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, kegagalan menjaga lingkungan hingga memicu krisis pangan bukan sekadar persoalan teknis, melainkan kegagalan konstitusional.

Menutup pernyataannya, Johan menegaskan bahwa pesan kearifan lokal sesungguhnya sangat relevan untuk masa depan.

“Menjaga hulu berarti menjaga kehidupan. Jika kebijakan nasional mampu menyatukan agenda lingkungan dan pangan secara utuh, tekanan ganda ini bisa diubah menjadi peluang. Namun jika tidak, rakyatlah yang kembali menanggung akibatnya,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano