Oleh karenanya, argumentasi saham dwiwarna dapat menjamin pengendalian pemerintah, mandat PSO (Public Service Obligantion), hingga dapat melarang penjualan saham PT adalah tidak berdasar.

Dia mengingatkan bahwa ekstensifikasi penafsiran tidak diperkenankan jika hukumnya telah mengatur, sehingga jika ingin memperluas daya jangkau saham dwiwarna harus terlebih dahulu mengamandemen UndangUndang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang PT.

“Menghilangkan pemilikan saham sehingga BUMN berubah menjadi PT dan menjagokan saham dwiwarna, sama halnya dengan mempertaruhkan kepentingan negara, terlebih tidak ada UndangUndang yang mendasari,” imbuhnya.

“Baju hukum yang dapat menjamin proteksi adalah yang hierarkinya tinggi yakni Undang-Undang, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketiadaan dasar hukum saham dwiwarna berarti ada kekosongan hukum (rechts vacuum), sehingga munculnya wacana penjualan PT pasca holding menjadi beralasan,” tambahnya.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Andy Abdul Hamid