Jakarta, aktual.com – PT Arion Indonesia resmi menggugat Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK), setelah dua kali mengalami kekalahan di Pengadilan Pajak dalam putusan yang dinilai tidak mencantumkan secara lengkap alat bukti yang diajukan selama persidangan.
Permohonan uji materi tersebut tercatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 249/PUU/PAN.MK/AP3/12/2025 yang dikeluarkan oleh Panitera Mahkamah Konstitusi pada Senin, 8 Desember 2025. PT Arion Indonesia diwakili oleh Kahfi Permana, S.H., M.H. selaku Kuasa Hukum.
Dalam permohonannya, PT Arion Indonesia menilai praktik penerapan Pasal 78 telah menjadikan “keyakinan hakim” sebagai dasar utama putusan, sementara uraian dan penilaian atas alat bukti yang diajukan Wajib Pajak nyaris tidak terlihat dalam putusan tertulis. Kondisi ini, menurut Pemohon, bertentangan dengan prinsip negara hukum, kepastian hukum yang adil, serta hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin UUD 1945.
PT Arion Indonesia tercatat terlibat dalam dua sengketa pajak besar di Pengadilan Pajak. Sengketa pertama diperiksa oleh Majelis Hakim IIIA Pengadilan Pajak yang diketuai Junaedi Eko Widodo. Dalam perkara tersebut, PT Arion Indonesia menegaskan bahwa putusan yang dijatuhkan tidak menguraikan secara lengkap dokumen dan alat bukti yang telah disampaikan selama proses persidangan, padahal bukti-bukti tersebut menjadi tulang punggung pembelaan perusahaan.
Sengketa kedua diperiksa oleh Majelis XIVA Pengadilan Pajak yang diketuai Dudi Wahyudi. Putusan perkara ini diduga mengandung kekeliruan yudisial (judicial error) dan disebut merugikan PT Arion Indonesia hingga sekitar Rp 5,14 miliar. Perusahaan kembali menyoroti bahwa dalam putusan tersebut, seluruh alat bukti yang diajukan tidak diurai dan tidak dinilai secara memadai, namun pada bagian pertimbangan hukum majelis tetap menyatakan telah mempertimbangkan pembuktian dan akhirnya menjatuhkan putusan dengan bertumpu pada keyakinan hakim.
“Yang kami persoalkan bukan kebebasan hakim, melainkan ketika Pasal 78 dipakai untuk membenarkan putusan yang tidak transparan. Bukti sudah kami ajukan, saksi dan ahli sudah kami hadirkan, tetapi jejak penilaiannya tidak tampak dalam putusan. Bagi Wajib Pajak, ini terasa seperti menghadapi tembok yang tidak bisa ditembus,” ujar Kahfi Permana, S.H., M.H., Kuasa Hukum PT Arion Indonesia.
Kahfi juga mengungkap pengalaman kliennya yang semakin memperkuat kekhawatiran tersebut. “Ada petugas pajak yang secara terang mengatakan kepada klien kami bahwa PT Arion Indonesia tidak akan menang di Pengadilan Pajak jika tidak memiliki koneksi dengan hakim maupun pegawai pengadilan. Pernyataan seperti ini, betapapun dapat disangkal, menunjukkan betapa rendahnya kepercayaan terhadap independensi dan keadilan proses peradilan pajak,” tegasnya.
Lebih jauh, PT Arion Indonesia mengaitkan persoalan ini dengan konstruksi kekuasaan perpajakan yang dinilai terlalu terpusat. Menteri Keuangan dipandang memegang peran sangat dominan:
• Di ranah legislatif perpajakan, terdapat 48 frasa pendelegasian ke Peraturan Menteri Keuangan dalam UU KUP, 46 frasa dalam UU PPh, dan 34 frasa dalam UU PPN;
• Di ranah eksekutif, pelaksanaan norma dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di bawah Kementerian Keuangan, antara lain dengan dasar PMK Nomor 118 Tahun 2021 jo. PMK Nomor 141 Tahun 2022;
• Di ranah yudikatif khusus, Pengadilan Pajak secara organisasi masih berada di bawah Kementerian Keuangan sampai 31 Desember 2026, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
Konfigurasi ini, menurut PT Arion Indonesia, menciptakan tumpang-tindih fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif di tangan satu organ eksekutif, sehingga menimbulkan gejala otoritarianisme perpajakan. Dalam situasi semacam ini, ketika Pasal 78 memberikan ruang luas bagi hakim untuk berlindung di balik “keyakinan hakim” tanpa kewajiban merinci dan menilai seluruh bukti, posisi Wajib Pajak yang menggugat keputusan fiskus menjadi sangat tidak seimbang.
Dalam permohonannya ke MK, PT Arion Indonesia melalui Kahfi Permana meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 78 sebagai inkonstitusional bersyarat. Pasal tersebut hanya boleh dianggap konstitusional apabila dimaknai bahwa:
1. Hakim Pengadilan Pajak wajib mencantumkan seluruh alat bukti yang diajukan para pihak dalam putusan;
2. Hakim wajib memberikan penilaian dan pertimbangan hukum satu per satu terhadap setiap alat bukti, khususnya bukti primer;
3. Keyakinan hakim hanya boleh dibentuk setelah seluruh alat bukti dinilai secara objektif dan transparan, bukan sebagai pengganti kewajiban menilai bukti;
4. Pengetahuan hakim bersifat subsider dan tidak boleh digunakan untuk mengesampingkan alat bukti yang diajukan para pihak.
“Jika tafsir ini tidak diterima, kami meminta Mahkamah menyatakan Pasal 78 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta memerintahkan pembentuk undang-undang menyusun aturan baru yang sejalan dengan prinsip negara hukum dan perlindungan hak konstitusional Wajib Pajak,” jelas Kahfi.
Langkah PT Arion Indonesia ke Mahkamah Konstitusi ini diharapkan menjadi momentum pembenahan sistemik di Pengadilan Pajak. “Ini bukan semata-mata perkara PT Arion Indonesia,” pungkas Kahfi Permana. “Ini tentang masa depan keadilan bagi seluruh Wajib Pajak. Mereka datang ke Pengadilan Pajak dengan harapan sederhana: bukti mereka dilihat, argumen mereka didengar, dan putusan dijatuhkan secara jujur serta transparan. Itulah yang sedang kami perjuangkan di Mahkamah Konstitusi.”
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















