Jakarta, Aktual.com — PT Badak LNG di Bontang (Kalimantan Timur) menyatakan siap mengambil bagian dalam mendukung pengelolaan blok Masela, khususnya dalam mengelola gas dari hasil eksplorasi di blok Masela menjadi gas alam cair, Liquefied Natural Gas (LNG).
Presiden Direktur PT Badak LNG, Salis S Aprilian mengungkapkan, jika nantinya keputusan pengelolaan blok Masela juga akan dieskpor ke luar negeri, maka pihaknya menyatakan siap untuk mengelola gas dari blok Masela tersebut.
” Fasilitas kami ada untuk mengelola gas dari blok Masela yang berbentuk gas alam terkompresi, Compressed Natural Gas (CNG) menjadi gas alam cair, Liquefied Natural Gas (LNG)” kata Salis SA ke Aktual.com, Senin (8/2).
Salis mengungkapkan, jika nantinya pemerintah ingin mengekspor gas dari Blok Masela ke luar negeri, maka pemerintah bisa memanfaatkan fasilitas Badak LNG di Bontang Kalimantan Timur, Sehingga PT Badak LNG yg sekarang hanya mengoperasikan 4 kilang (train) dari 8 train yang ada dapat memaksimalkan asetnya.
“Biayanya pun sangat murah karena semuanya sudah tersedia dan tidak perlu investasi lagi” ujarnya.
Selain biayanya yang sangat murah, Salis menuturkan keuntungan lainnya adalah pada saat proses de-pressurized CNG, energi yang dihasilkan akibat penurunan tekanan CNG ini dapat dimanfaat sebagai pembangkit listrik di Kilang LNG Badak.
“Sehingga akan mengurangi gas untuk keperluan utilities yang biasanya hingga 11% dari total feed gas,” paparnya.
Lebih jauh Salis mengungkapkan, perdebatan saat ini terkait pengelolaan blok Masela antara konsep FLNG dan OLNG dari sisi teknikal, komersial, maupun sosial, kedua konsep tersebut tidak reliable, tidak fleksibel, dan tidak berfek-ganda secara luas.
” Lalu, apa solusinya?,Menurut saya, sebaiknya kita membangun FCNG (Floating Compressed Natural Gas)” ungkapnya
FCNG adalah fasilitas terapung yang digunakan untuk pengolahan gas menjadi CNG, dengan cara menekan gas hingga ratusan bar (ribuan psia) untuk memampatkan volumenya hingga seper-tigaratus nya.
Dari sisi operasional, FCNG ini lebih sederhana dan praktis, hanya membutuhkan FPSO (floating production storage and offloading), kapal-kapal pengangkut CNG, dan isotank (jika diperlukan). Keduanya sudah proven (banyak digunakan) dan banyak di pasaran. Sementara jika membuat LNG membutuhkan pendinginan hingga minus 165 derajat Celcius untuk membuat gas menjadi cair dengan bahan cryogenic yang mahal.
Kelebihan konsep FCNG lainnya adalah kecepatan dalam konstruksi dan biaya investasi. Diperkirakan pembuatan FCNG berikut kapal-kapal CNG hanya membutuhkan waktu 3-3.5 tahun.
“Biayanya juga hanya untuk pengadaan FPSO dan 8 kapal CNG yang totalnya kurang dari 8 milyar US$. Bandingkan dengan FLNG/OLNG yang konon sekitar 15-19 milyar US$,” jelasnya.
Pada konsep FCNG, gas yang berasal dari sumur akan diproses pada FPSO, kemudian dikompresi pada tekanan tinggi untuk menjadikan CNG. CNG lalu diangkut dengan kapal untuk didistribusikan ke konsumen. Konsumen CNG adalah konsumen gas alam biasa, seperti pembangkit listrik (PLN, IPP), pabrik pupuk, petrokimia, dan lain-lain.
Dengan demikian, konsep FCNG tidak memerlukan infrastruktur Regasifikasi. Ini dapat menghemat jutaan dollar (setidaknya 3-5 US$/MMBTU) jika dibandingkan dengan kita membuat gas menjadi LNG kemudian menjadikannya gas kembali.
“Selain itu, jika gas sudah menjadi CNG, maka kita juga dapat mengembangkan beberapa pembangkit listrik, pabrik pupuk dan industri petrokimia lainnya di pulau-pulau yang memerlukannya. Tidak hanya untuk masyarakat di sekitar Kepulauan Aru, Sulawesi, atau Papua, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang memerlukannya,” bebernya.
Semua itu akan lebih mudah dijangkau dengan menyediakan kapal CNG skala kecil yang dirancang dan dibangun di dalam negeri (TKDN lebih besar).
“Dari sisi risiko perhitungan ngcadangan gas, konsep FCNG lebih fleksibel. Dapat dikurangi atau ditambah kapasitasnya sesuai dengan produksi dan cadangan gas di Blok Masela. Sedangkan konsep FLNG/OLNG sangat tergantung kepastian perhitungan cadangan maupun produksinya,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh: